BagyaNews.com – Ibadah puasa juga termasuk bagian syariat yang pemberlakuan hukumnya berlaku dalam beberapa tahapan, sebelum kemudian kita mengenal hukum dan syariat tentang puasa yang telah baku seperti sekarang.
Di antara karakteristik syariat Islam adalah turunnya berbagai hukum dalam beberapa tahapan (gradual). Masing-masing tahapan boleh jadi mengandung perbedaan satu sama lain. Artinya tahap pemberlakuan hukum turun beberapa kali, dan syariat yang turun belakangan merevisi poin-poin hukum pada syariat yang turun pada waktu sebelumnya.
Pemberlakuan hukum secara bertahap ini bertujuan untuk membuat penyesuaian dengan lingkungan, karakter umat dan mencegah agar ia tidak terasa terlalu berat bagi manusia. Ibadah puasa juga termasuk bagian syariat yang pemberlakuan hukumnya berlaku dalam beberapa tahapan, sebelum kemudian kita mengenal hukum dan syariat tentang puasa yang telah baku seperti sekarang.
Pada masa Rasulullah SAW, tahapan pensyariatan kewajiban puasa dapat dibagi ke dalam tiga tahapan.
Puasa Pertama dalam Islam
Puasa yang pertama kali diwajibkan kepada umat Islam adalah puasa pada hari kesepuluh bulan Muharram. Biasa disebut hari ‘Asyura’. Puasa hari ‘Asyura’ sendiri telah menjadi amalan kebiasaan bangsa Arab jahiliyah sebelum datangnya Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri telah mengamalkan puasa ‘Asyura sejak masih di Mekkah. Kemudian setelah berhijrah ke Madinah, Rasulullah SAW juga masih tetap mempraktekkannya dan beliau juga memerintahkan umat Islam saat itu untuk turut serta mengamalkannya. Hal ini terjadi pada tahun pertama setelah hijrah.
Kewajiban puasa ‘Asyura sendiri kemudian turun derajat hukumnya menjadi puasa sunnah (boleh ditinggalkan), manakala diwajibkannya puasa Ramadhan. Kesunnahan puasa ‘Asyura’ sendiri masih tetap berlaku sampai seterusnya. Fakta di atas diantaranya mengacu pada sebuah riwayat Imam Muslim dari Aisyah berikut:
كَانَتْ قُرَيْشٌ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Di zaman jahiliah orang-orang Quraisy melakukan puasa pada hari ‘Asyura, dan Rasulullah SAW pernah pula melaksanakannya. Ketika beliau melakukan hijrah ke Madinah beliau berpuasa dan beliau memerintahkan agar berpuasa. Maka tatkala puasa Ramadan diwajibkan, beliau bersabda, “Siapa yang suka puasa di hari ‘Asyura silakan ia berpuasa, dan siapa yang tidak suka boleh meninggalkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kewajiban Opsional Puasa Ramadhan
Pada masa awal turunnya ayat tentang puasa Ramadhan dan bergantinya status hukum puasa ‘Asyura’ dari wajib menjadi sunnah, kewajiban puasa Ramadhan masih bersifat opsional. Maksudnya umat Islam saat itu dibolehkan memilih apakah menjalankan puasa atau membayar fidyah. Ayat Alquran yang dimaksud adalah,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ أَيَّامٗا مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah: 183-184)
Al-Qurthubi dalam tafsirnya (3/145) menjelaskan bahwa dari ayat ini sebagian ulama memahami adanya peristiwa naskh berkaitan dengan ayat di atas. Sebelumnya para sahabat yang merasa berat untuk berpuasa diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah sebagai gantinya. Dengan demikian, pada tahap ini, sebelum ia dinasakh, kewajiban puasa Ramadhan masih bersifat opsional.
Kewajiban Puasa Ramadhan Berlaku Mutlak
Keringanan untuk memilih antara puasa atau membayar fidyah kemudian mengalami revisi (nasakh). Umat Islam tidak dibolehkan lagi memilih antara puasa atau membayar fidyah. Tetapi ia wajib berpuasa selama ia tidak mengalami perkara-perkara tertentu yang membolehkannya untuk meninggalkan puasa. Tahapan ini berlaku dengan turunnya ayat berikut:
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS Al-Baqarah: 185)
Berkaitan dengan adanya nasakh dalam tiga ayat ini, ia telah menjadi perdebatan di kalangan para ulama Tafsir. Sebagian ulama berpendapat seperti penjelasan sebelumnya, namun ada pula ulama yang membantah adanya penerapan nasakh pada ayat-ayat tentang puasa di atas.
Demikian penjelasan singkat tentang sejarah ibadah puasa dalam Islam. Pemberlakuan sebuah kewajiban dalam Islam seringkali dilakukan secara bertahap. Hal ini menjadi penanda bahwa Islam sangat memperhatikan kesiapan umatnya untuk melaksanakan sebuah kewajiban.