Apakah yang lebih utama bagi seorang musafir , berpuasa atau berbuka? Masalah ini masih diperdebatkan. Imam Malik dan Imam Syafi’i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama.Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, “Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan , ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa.”
Baca juga: Hukum Musafir Menggauli Istrinya di Siang Ramadhan
M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “ Wawasan Al-Qur’an ” mengatakan memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Qur’an sendiri dalam konteks puasa, “Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan.”
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi’ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu: Fa ‘iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Menurut Quraish, kalimat “lalu ia tidak berpuasa” adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi’ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian –buat mereka– menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.
Baca juga: Tak Semua Musafir Dapat Meninggalkan Kewajiban Puasa Ramadhan
Berturut-turut
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis –tetapi dinilai lemah—yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah ra yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi’at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha’) itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi’at dalam fa’iddatun minayyamin ukhar mutatabi’at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah SWT. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.