Kala itu kaisar Yongle mengangkat sosok pemuda yang gagah berani dari Provinsi Yunan yang bernama Muhammad Cheng Ho (w. 1433 M) untuk menjadi Laksamana Laut untuk memimpin misi muhibah atau misi bilateral ke berbagai nagari manca, termasuk di dalamnya yaitu nagari Nusantara. Dengan menggunakan kapal (jung) Laksmana Muhammad Cheng Ho dibersamai dengan ribuan pasukan dan para imigran yang berasal dari Provinsi Guangdong dan Fujian Laksaman Muhammad Cheng Ho mulai berkeliling mengarungi lautan biru hingga ahirnya sampai di Laut Jawa (Nusantara) dan mendarat di Semarang.
Dalam perjalanan misi bilateralnya di Semarang Laksamana Muhammad Cheng Ho pun berkesempatan untuk membangun rumah peribadatan bagi dirinya dan para pasukannya yang bergama Islam dengan corak arsitektur bangunan khas Tionghoa yang dilengkapi pula dengan bedug sebagaimana rumah peribadatan umat Budha di negerinya yang dilengkapi dengan bedug jua. Boleh jadi ini adalah babak awal dari proses bedugisasi di rumah peribadatan umat Islam (masjid dan mushola) di persada Nusantara (Indonesia) yang kemudian diamini oleh para Wali Sanga yang merupakan petron dari penyebar ajaran agama Islam di bumi Nusantara pada kurun abad ke-15 M hingga abad 16 M yang kemudian tongkat estafet bedugisasi dilanjutkan oleh generasi penerusnya.
Memasuki abad ke- 20 M atau tepatnya pada tahun 1936 M upaya bedugisasi gaungnya begitu semakin massif. Nahdlatul Ulama yang kala itu baru berusia satu dekade dan di-Rais ‘Am-in oleh KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947 M) serta di-Tafidziyah-in oleh KH. Ahmad Noor dalam Muktamar NU ke-11-nya yang diselenggarakan di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan kembali mengukuhkan bedug dan kentongan sebagai bagian dari alat untuk suksesi syiar agama Islam di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari memandang bahwa keberdaan bedug maupun kentongan di masjid atau mushola begitu sangat diperlukan dalam upaya untuk memperbesar kans syiar agama Islam di tangah-tengah masyarakat yang begitu heterogen.
Namun demikian upaya bedugisasi di masjid ataupun mushola yang dipetroni langsung oleh Nahdlatul Ulama yang merupakan representasi dari Islam tradisonalis tidak selamanya berjalan dengan mulus bahkan kerap kali mendapatkan perlawanan dari kaum Islam Modernis. Dinamika pun terjadi, puncaknya ketika presiden Soeharto (w. 2008 M) berkuasa atau era Orde Baru mulai mengepakkan sayap-sayap otoriterismenya.
Bedugisasi – Debedugisasi – Speakerisasi
Pada kurun waktu dekade 70an hingga 80an kaum modernis yang sudah merapatkan barisannya ke pemerintahan Orde Baru menemukan momentumnya untuk menekan program bedugisasi yang telah digaungkan oleh kalangan Islam tradisionalis dengan mendapatkan golden tiket berupa program “speakerisasi” dan “debedugisasi”. Program speakerisasi dan debedugisasi di masjid-masjid maupun mushola-mushola yang dibekingi langsung oleh pemerintahan Orde Baru pun terus bergulir menyisir masjid-masjid serta mushola-mushola yang masih menggunakan bedug sebagai media untuk menandakan waktu sholat telah tiba. Program speakerisasi dan debedugisasi yang diamini oleh pemerintahan Presiden Soeharto boleh jadi embrionya berasal dari Inpres No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina yang diteken oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Desember 1967.
Presiden Soeharto yang tidak ingin adat istiadat Tiongkok berkembang luas di Indonesia ahirnya menekan masyarakat keturunan Tionghoa dengan Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut. Bedug yang diyakini berasal dari Cina atau Tiongkok dan merupakan bagian dari adat istiadat warga Tionghoa pun ahirnya tidak luput juga dari cengkaraman Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut. Lewat program debedugisasi rezim Orde Baru berhasil menyingkirkan banyak bedug di masjid-masjid maupun mushola-mushola di Indonesia. Cara menyingkirkannya pun beragam, mulai dari sekadar dikandangkan di gudang-gudang masjid atau mushola hingga dibakar di halaman masjid maupun mushola.
Peran bedug yang sudah dihilang-paksakan tersebut ahirnya digantikan dengan speaker lewat program speakerisasi ala Orde Baru. Speakerisasi menemukan babak baru, impor speaker dengan brand TOA pun melesat tajam dan mulai di-toa-kan di masjid-masjid serta mushola-mushola di Indonesia hingga merk dagang ini pun ahirnya mashur untuk menyebut megaphone loadspeaker yang berbentuk kerucut yang dilengkapi sebuah spul speaker yang menmpel pada medan magnet pada sisi dalamnya.
Walaupun upaya speakerisasi dan debedugisasi yang digawangi oleh kalangan Islam modernis terus berjalan, namun kalangan Islam tradisionalis pun tidak melulu berpangku tangan tidak melakukan perlawanan, mereka pun terus berupaya mempertahankan bedug yang sudah mengakar sejak abad ke-15 masehi tersebut sebagai bagian syiar agama Islam di Indonesai. Hasilnya bedug-bedug di beberapa masjid maupun mushola yang basis Islam tradisionalisnya sangat kuat semisal masjid kalangan NU, Perti, Mathalul Anwar dan sebagainya nyaris tidak tersentuh oleh program debedugisasi tersebut.
Dengan tidak tersentuhnya beberapa bedug di beberapa masjid dan mushola itu pun ahirnya menjadi identitas tersendiri di mata masyarakat. Lazimnya jika sebuah masjid atau muhola masih memiliki bedug itu berarti masjid atau mushola tersebut dikelola oleh kalangan Islam tradisonalis. Namun jika sebuah masjid atau mushola tidak ada bedugnya akan tetapi ada toanya maka masjid atau mushola tersebut dikelola oleh kalangan Islam modernis.
Dinamika terus berlanjut, pada awal dekade 80an di mana speaker mulai menjamur di berbagai sudut atap masjid hingga bergelayut di dinding-dinding menara masjid serta iringan suara adzan hingga tarhim yang mulai saling bersahutan dari bibir speaker tersebut ahirnya menuai berbagai respons dari kalangan umat Islam tradisionalis. Respons tentang speakerisasi datang dari sosok Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur (w. 2009 M) yang merupakan salah satu ulama dari kalangan Islam tradisonalis. Dalam kolomnya yang diterbitkan oleh Tempo pada 20 Februari 1982 atau empat dekade silam dengan judul ‘Islam Kaset’ dengan Kebisingannya, Gus Dur mengkritik keras penggunaan speaker yang berlebihan, semisal mulai dari tarhim hingga bacaan Qur’an yang volumenya diatur setinggi mungkin agar kaum muslimin melakukan ibadah lebih baik lagi. Ayah dari Zannuba Ariffah Chafsoh atau akrab disapa Yenny Wahid tersebut memandang bahwa tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang –kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama ‘illat. Ada kiai yang menotok pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya.
Jika dikaitkan dengan Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala tentu upaya tersebut sudah selaras dengan kritik tentang speakerisasi yang pernah dilontarkan oleh Gus Dur empat dekade silam, dengan kata lain apa yang dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas merupakan bentuk internalisasi dari meng-ihya-kan Gus Dur.
Lebih jauh lagi, bagi kalangan Islam tradisionalis yang kontra dengan SE nomor 05 tahun 2022 tersebut sudah sepatutnya membaca kembali bagaimana program speakerisasi di masjid-masjid dan mushola-mushola telah berhasil menghilang-paksakan banyak bedug lewat program debedugisasi yang dipetroni oleh kalangan Islam Modrnis di bawah payung rezim Orde Baru. Sudah seyogyanya mereka bermuhasabah dan berkaca bagaimana kakek-nenek mereka dulu mendapat penetrasi yang kuat dari rezim Orde Baru lewat dwi program debedugisasi dan speakerisasi tersebut, bukan malah ikut-ikutan melakukan penetrasi kepada Gus Men Yaqut Cholil Qoumas lewat aksi demo yang nir-etik sebagaiamana aksi demo yang viral belakangan ini.
Tapi apa mungkin mereka mau dan mampu berpikir sampai sejauh itu?