Sejarah Azan dan pensyariatannya bermula dari mimpi sahabat. Allah Ta’ala memberi isyarat tentang panggilan Azan lewat mimpi sahabat yang kemudian dibenarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.Menurut At-Thabari, kata Azan (أَذَّنَ) secara bahasa diartikan dengan
An-Nida (نادى) yang berarti memanggil atau menyeru. Bisa juga diartikan dengan
Al-i’lam (أعلم) yang berarti memberitahu atau pemberitahuan.
Maka orang yang memanggil atau menyeru Azan disebut Muadzzin. Namun secara istilah fuqaha, azan adalah: “Pemberitahuan perihal masuknya waktu sholat fardhu, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang ma’tsurah, dengan cara yang khusus”. (Musuah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah)
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir menceritakan asal mula Azan dan pensyariatannya menukil riwayat Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya,
Dikisahkan, Rasulullah SAW dan para Sahabat ketika sampai di Madinah setelah Hijrah melakukan musyawarah bagaimana memberi tahu dan mengumpulkan kaum muslimin untuk sholat di masjid.
Sebagian sahabat memberi usul dengan menghidupkan api pada setiap waktu sholat, sehingga mereka yang melihatnya dari jauh bisa saling mengingatkan bahwa waktu sholat telah tiba. Namun Rasulullah SAW tidak menyetujuinya.
Ada lagi yang memberi usul dengan meniup buq (dalam riwayat Al-Bukhari), qarn (dalam riwayat Muslim dan an-Nasai), qun/syabbur (dalam riwayat Abu Daud), yang menunjuk arti sebuah alat yang ditiup lalu kemudian darinya keluar suara. Dalam bahasa familiar orang-orang sekarang menyebutnya terompet. Tapi Rasulullah SAW tidak menyukainya. Beliau mengatakan bahwa huwa min amril yahud, terompet itu bagian dari perkara orang-orang Yahudi.
Lalu ada juga yang memberi usul agar diperdengarkan suara naqus, dengan cara kayu besar dan panjang dipukulkan dengan kayu kecil agar keluar suara. Namun lagi-lagi Rasulullah SAW tidak meng-iyakan. Kata Beliau, yang demikian sudah sering digunakan oleh orang-orang Nasrani.
“Musyawarah pada hari itu belum menghasilkan sebuah keputusan. Lalu Rasulullah dan para sahabat pergi dan perkara ini dijadikan PR bersama,” kata Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir dilansir dari rumahfiqih.
Selang beberapa hari, Sahabat bernama Abdullah bin Zaid bermimpi. Dalam mimpinya beliau bercerita melihat seseorang membawa naqus, lalu beliau bertanya: “Wahai hamba Allah, maukah Anda menjual an-naqus itu?”
“Untuk apa?” tanya laki-laki di dalam mimpi tersebut.