Buya Hamka, Menghadirkan Islam Modern di Indonesia yang Majemuk – Bagyanews.com
Connect with us

Kalam

Buya Hamka, Menghadirkan Islam Modern di Indonesia yang Majemuk

Published

on

Buya Hamka, Menghadirkan Islam Modern di Indonesia yang Majemuk

[ad_1]

BagyaNews.com Buya Hamka adalah salah satu tokoh yang sangat populer di Indonesia, secara umum disapa dengan sebutan HAMKA.

Bernenek yang turun dari gunung Merapi. Berkiblat ke Ka’batullah. Berfikir yang dinamis. Bersatu dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Bagian puisi diatas merupakan puisi Buya Hamka yang tanpa judul dari tahun 1970, yang dikutip oleh Dr H. Armura“Dengan Buya Hamka dalam Berbagai Peristiwa”, dalam Kenang-kenangan: 70 Tahun Buya Hamka”, puisi tersebut bermakna “Kami Muslim; kami modern; kami bangsa Indonesia”.

Tak terhitung banyaknya jumlah karya yang telah ditorehkan oleh Hamka baik itu berupa buku yang ditulis secara ilmiah, tafsir, sejarah, puisi dan lain sebagainya untuk dijadikan sebagai bahan penelitian dengan berbagai bentuk yang ditulis oleh para akademisi, pakar untuk membedah pemikiran Buya Hamka.

Khususnya di Indonesia, Hamka telah menjadi subjek penelitian dan tulisan ilmiah berbahasa Indonesia, termasuk beberapa disertasi doktoral dan tesis magister, antara lain karya M. Yunan Yusuf, Samsul Nizar, Muhammad Nazar, dan Mansur, beserta kritik maupun apresiasi dari berbagai tokoh diantaranya ada Abdurrahmad Wahid, Dawam Raharjo, Nurcholis Majid, Azyumardi Azra, Ahmad Hakim, M. Thalhah, dan lain-lain.

Buya Hamka adalah salah satu tokoh yang sangat populer di Indonesia, secara umum disapa dengan sebutan HAMKA yang memiliki nama lengkap Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Maninjau, Sumatera Barat 17 Februari 1908 dan wafat pada tanggal 24 Juli 1981. Beliau sudah sangat dikenal secara luas dan secara kultural tidak dapat dipisahkan dari dirinya yaitu lingkungan Ranah Minang.

Sebelum Indonesia merdeka, telah banyak lahir dari rahim Alam Minangkabau seorang tokoh berlatar belakang sebagai politikus,ulama, cedikiawan dan lain sebagainya. Buya Hamka merupakan salah satu tokoh yang paling dikenal dengan banyak keahlian yang sangat berkualitas sebagai pengarang, pemikir, sastrawan, sejarawan publik, mufassir bahkan masih banyak lagi yang menyatu didalam pribadi Buya Hamka dan bisa ditelusuri dari berbagai karya tulis dan ceramahnya yang selalu memikat dan memukau.

Banyak cara dan banyak ide untuk mengekspresikan diri demi melahirkan sebuah karya, sebuah kalimat yang tidak terlalu berlebihan dalam menilai seorang Buya Hamka. Setiap keahlian yang dimilikinya memiliki beberapa kisah yang unik sehingga hal tersebut dituangkan dalam sebuah buku karya anaknya sendiri Irfan Hamka yang berjudul “Ayah”.

Sebuah pengakuan datang dari Paus Sastra Indonesia, H.B Jassin, beberapa hari setelah Hamka wafat dengan menulis “Hamka adalah seorang manusia kaliber besar. Dia tumbuh dari kalangan rakyat dan sejak kecil dia selalu mencari pengalaman hidup. Selain sebagai mubaligh, Hamka juga merupakan seorang sastrawan. Karya-karya sastra Hamka memberi pengaruh dan menginspirasi orang lain. Tulisannya tidak hanya cerita indah, tetapi juga membawa amanat.

Kebanyakan buku-buku Hamka memang bernuansa sedih, namun menggugah perasaan orang untuk terharu. Sahabatnya puluhan tahun, H.M Yunan Nasution, melihat pribadi Hamka dengan penuturan, “Salah satu segi yang mengesankan dari kehidupan almarhum Bapak Hamka, di samping karir dan prestasi yang dicapainya secara autodidak, kekuatan dan kemauan yang timbul dari dalam diri sendiri, ialah tentang ketajaman dan kekuatan ingatan almarhum”.

Selain itu menurut Yunan sebagai salah satu sejarawan publik menuturkan bahwa Buya Hamka memiliki ingatan yang sangat kuat tentang sejarah yang lama, hubungan antara riwayat dari satu kurun ke kurun yang lain, riwayat hidup ulama-ulama dan para pejuang Islam dahulu yang tersambung semacam tali-temali. Terkadang Buya Hamka ingat sangat detail tanggal dan peristiwa terjadinya sesuatu.

Dengan kemampuan ingatan yang kuat serta daya fikir yang tajam inilah, Buya Hamka bisa dikatakan juga sebagai ahli debator yang ulung baik diruang lingkup yang formal maupun non formal. Memiliki suara serak-serak parau menambah bobot kewibawaan tersendiri baginya dan bisa dikategorikan sebagai manusia memiliki keunggulan lebih.

Salah satu momen penting pada tahun 1975 ketika Buya Hamka dipilih secara aklamasi menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan berpidato kepada masyarakat menjelaskan bahwa MUI terletak di tengah-tengah seperti halnya “ laksana kue bika” yang “dibakar api dari atas dan bawah”. Artinya “api dari atas ibarat harapan pemerintah sedangkan api dari bawah wujud keluhan ummat Islam. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang didukung oleh rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah”. 

Selama menjadi seorang pimpinan tertinggi MUI, Hamka pernah menduduki jabatan sebagai Penasihat PP Muhammadiyah pada tahun 1953 dan Anggota Konstituante dari Masyumi pada tahun 1955. Buya Hamka memiliki karya yang fenomenal diantaranya ada Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah dan Tafsir Al Azhar sehingga beliau di anugerahi gelar Doktor kehormatan dari Universitas Al Azhar, Kairo dan Universitas Nasional Malaysia, serta dikukuhkan sebagai guru besar oleh Universitas Moestopo Jakarta dan masih banyak lagi karya yang di ciptakannya.

Dinamika kehidupan selalu dihadapi Buya Hamka bagaimanapun kondisi rintangan yang akan dihadapinya. Penamaan sebagai seorang pencari ilmu disematkan didalam diri Buya Hamka, terlebih ia adalah putra minangkabau yang identik dengan budaya merantaunya. Hal ini bisa dilihat dari ketika sejarawan Amerika Serikat, James R. Rush, mengkukuhkan karyanya yang berjudul Hamka’s Great Story yang terbit pada 2017.

Yang dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif mengutip kalimat dari karya James R. Rush ini pada kalimat terakhirnya yang mengatakan “Di Sinilah terletak Kisah Besarnya hari ini, sambil membingkai masa lampau dan masa kini bagi jutaan manusia yang tanpa disadarinya mengakui pengaruh suara bentukan Hamka (Hamka’s Formative Voice), meliputi rasa percaya dirinya yang luar biasa akan kekuatan manusia, kepercayaan kepada Islam sebagai agama pembebas, dan mimpinya untuk mengisi kehidupan Indonesia dan bangsa dengan kearifan dan kebenarannya”.

Berdasarkan hal ini pada saatnya perlu diperdalami untuk mencari jawaban atas pertanyaan: apa sejatinya yang dicari Buya Hamka melalui pengalaman panjang yang penuh dengan lika-liku dan duri? Bagi Buya Hamka sendiri hidup tidak boleh kepalang tanggung, hanya tanpa ritme rutinitas tanpa makna dari waktu ke waktu, seperti yang pernah disampaikan oleh Buya Hamka bahkan sangat tidak asing di dengar oleh masyarakat yaitu “Kalau sekedar hidup babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja”. Buya Hamka juga seorang filsuf yang selalu mengajak manusia untuk selalu berfikir tanpa henti, mencari sesuatu yang terbungkus dalam rahasia Allah yang terbentang di alam semesta ini seperti yang dikatakan oleh pepatah minangkabau alam takambang, jadi guru.

Meskipun demikian, dengan segala potensi yang mumpuni melalui akal yang diberikan oleh Tuhan sejatinya manusia terus bergerak untuk melakukan hal-hal yang positif demi terciptanya pembaharuan yang dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Inilah salah satu cara Buya Hamka yang dituangkan di dalam beberapa tulisannya yang menyampaikan risalah iman secara halus dan menyentuh hati kepada pembacanya. Aransemen agama, filsafat tasawuf, sastra dan sejarah telah yang menyatu dalam karyanya.

Hamka merupakan warisan terbaik yang pernah ada untuk Indonesia. Bahkan golongan atas maupun bawah memiliki kisah tersendiri bersama Hamka. Dan sangatlah pantas jika beliau disematkan menjadi Pahlawan Nasional, berkat jasa dan kepiawaiannya telah mengagungkan nama Indonesia di tingkat Internasional.

Sebuah pepatah yang sering ia lantunkan sangatlah cocok untuk ia dapatkan bahwa “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan jasa” hal ini telah sempurna didapatkan oleh Hamka sebagai amal jariah yang didapatkannya. Jasa yang ditinggalkannya sangat fenomenal dan meninggalkan sebuah karya untuk membangung pradaban. Meskipun beliau telah meninggalkan kita semua, namun jasa-jasanya tidak pernah hilang dan selalu melekat di hati orang banyak.

Bagi Indonesia yang telah berumur 76 tahun masih gamang untuk merumuskan jati dirinya, maka daripada itu sangat diperlukan seluruh karya-karya Buya Hamka perlu disebarluaskan secara terus-menerus agar setiap generasi bisa menikmati karya agungnya dan bisa memberikan efek positif dalam pembangunan karakter karena setiap karyanya terhimpun pesan-pesan abadi untuk kebesaran dan kedaulatan bangsa ini.

Dan apabila saat ini beliau masih hidup dan melihat kondisi keterpurukan karakter di bangsanya, maka tidaklah bisa dipungkiri pasti jiwa Buya Hamka pasti berontak, tercabik-cabik menyaksikan sebagian anak bangsa yang rela melukai Indonesia dengan tangan-tangan kumuh berlumur darah. Buya Hamka sangat mencitai bangsa ini, seorang ulama multitalenta senang bergerilya kesana-kemari yang haus akan ilmu pengetahun demi memerdekakan diri dan bangsanya, dan dari Buya Hamka untuk Indonesia Maju.

Artikel kiriman dari Hidayat Chaniago, Medan, Sumatera Utara, Penikmat Karya Buya Hamka

[ad_2]

Sumber Berita harakah.id

#Buya #Hamka #Menghadirkan #Islam #Modern #Indonesia #yang #Majemuk

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved