Pesantren Dan Sistem Inkulturasi Canggih Syiar Islam di Nusantara – Bagyanews.com
Connect with us

Kalam

Pesantren Dan Sistem Inkulturasi Canggih Syiar Islam di Nusantara

Published

on

Pesantren Dan Sistem Inkulturasi Canggih Syiar Islam di Nusantara


BagyaNews.comPesantren sedari awal memang telah menampilkan dirinya sebagai sebuah sistem inkulturasi yang membantu menanamkan ajaran-ajaran Islam ke dalam kebudayaan.

Sistem inkulturasi yang berkembang dan ditampilkan oleh Pesantren adalah sebuah sistem canggih yang menjadi kunci bagi proses inkulturasi doktrin keagamaan sekaligus kesuksesan syiar Islam di Nusantara.

Clifford Geertz, dalam The Religion of Java, berseloroh bahwa Islam di Nusantara tidak pernah dianut secara benar (murni/asli) kecuali hanya oleh sedikit komunitas saja. Islam di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa, dinilai sebagai Islam sinkretis.

Kondisi tersebut memang tak bisa dipungkiri, bahkan hingga kini praktik keislaman di Indonesia masih nampak, bagaimana unsur-unsur budaya lokal dan ajaran pra-Islam terlibat di dalamnya. Peleburan praktik yang demikian tak bisa dilepaskan dari akar sejarah penyebaran Islam di Nusantara sendiri oleh para wali. Dan di sinilah sistem inkulturasi agama-budaya bekerja.

Islam yang digemari masyarakat – khususnya Jawa – lebih banyak merupakan Islam hasil gabungan atau persenyawaan tradisi-tradisi lokal yang sudah ada dengan ajaran Islam itu sendiri. Hal tersebut dikemudian hari juga nampak pada acara dan ritual tertentu di nusantara, hampir selalu dimasuki oleh unsur Islam dan ditafsirkan pula secara Islami. 

Penyebaran Islam di Nusantara yang dimulai sejak abad ke-7 namun terlihat nampak efektif pada abad ke-13. Dapat diartikan pula bahwa para pendakwah kala itu melakukan perubahan metodologi. Dimana unsur-unsur beraroma sufistik turut andil besar dalam keberhasilan syiar Islam.

Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, mengukuhkan bahwa perkembangan awal Islam di negeri ini bercorak sufistik. Hal itu mengisyaratkan bahwa sufisme memiliki elemen-elemen yang lebih selaras dengan agama dan budaya lokal sebelumnya. Genre tasawuf yang mungkin lebih akomodatif, sehingga mudah diserap di masyarakat. 

Pesantren – yang menurut Martin merupakan lembaga yang menjadi penghubung ketersambungan (sanad) antara Timur Tengah dan Asia Selatan pada awal masa perkembangan Islam – adalah salah satu unsur terpenting yang berperan dalam dakwah Islam di masyarakat. Selain itu Mark Woodward dalam Islam Jawa menyatakan, sejatinya pesantren lebih dekat dengan tradisi campuran ala Arab-Hindu di India. 

Ia juga menyatakan kesalehan normatif dan kebatinan, dua tipe yang menjadi arena perdebatan ranah tasawuf ditemukan dalam banyak praktik Islam di Jawa. Dalam artian, Woodward mengklaim bahwa Islam Jawa dan Islam Normatif adalah dua fakta yang ada di masyarakat Nusantara. 

Di Tanah Jawa, pesantren dengan nilai-nilai di dalamnya,  sedikit banyak terdapat infiltrasi budaya dan ajaran Hindu-Budha yang sudah lebih dulu tersebar. Meski demikian, tradisi pesantren juga tidak bisa diklaim sepenuhnya warisan Hindu-Budha. Melainkan, berhasilnya penyaringan nilai-nilai non-Islam yang kemudian digantikan dengan unsur Islam sehingga menghasilkan produk baru khas pesantren. Sehingga pada abad ke-19 pesantren telah banyak melepaskan diri dari pengaruh unsur mistis dan animistis yang bersumber dari tradisi pra-Islam.

Lembaga semacam itu (pesantren) sebenarnya sudah ada sejak lama sebelum Islam masuk ke Nusantara. Yaitu dengan nama lembaga guru cula di Jawa yang secara konsep mirip seperti asrama tempat para pencari ilmu agama dan guru tinggal. Yang saat Islam menyebar, para ulama dengan canggihnya tidak memusnahkan total lembaga tersebut. Melainkan dilestarikan dan dimodifikasi sedemikan rupa agar selaras dengan ajaran Islam. Bongkar pasang dan proses filterisasi dilakukan. Hingga akhirnya nampaklah produk pesantren tradisional yang ada seperti saat ini. 

Sistem asrama dalam institusi Syiwa-Budha memiliki kemiripan dengan konsep pesantren yaitu mendidik murid baik dalam agama maupun ilmu kehidupan lainnya. Pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dan pusat kota pun nampaknya mereplikasi tradisi sebelumnya. Dimana membangun mandala – dikenal juga sebagai ‘depok’ atau ‘padepokan’ yaitu tempat pendidikan – di daerah bukit, lereng gunung atau semacamnya(Aguk Irawan, 2018).

H.J de Graff dan Pigeaud, sebagaimana disampaikan Nor Huda dalam Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, bahwa pesantren merupakan kelanjutan model pendidikan yang hampir serupa di masa sebelumnya. Yaitu mandala dan ashrama, dimana dalam masa itu sejumlah mandala ditransformasikan menjadi pesantren dengan doktrin-doktrin keislaman selain masih disertai pengetahuan mistiknya (Nor Huda, 2015).

Sikap akhlak dan adab hubungan antara kiai dan santri disinyalir pula mengandung unsur keterpengaruhan dengan tradisi agama lokal sebelumnya (Hindu-Budha). Dalam artian bahwa tradisi sebelumnya ikut andil dalam memudahkan tersebarnya ajaran Islam lewat pesantren. Dalam pemaknaan lain, pesantren merupakan kesinambungan budaya lokal sebelumnya.

Sikap takzim seperti mematung, membungkukan badan atau mencium tangan yang dilakukan oleh para santri terhadap kiai atau pengasuh pesantren, merupakan nilai-nilai etis yang telah ada sebelumnya di masyarakat. Hingga adanya ungkapan “Derek dawuh kiai” yang artinya apapun yang diperintahkan oleh kiai, santri akan menurut sami’na wa atha’n. Rasanya sulit untuk mengatakan bahwa – membuminya akhlak dan sikap andhap asor tersebut – tanpa adanya bantuan sedikitpun dari budaya lokal yang sudah ada. Bahkan siswa (santri) dilarang membantah atau mendebat sang guru bisa pula dilacak pada karya kitab dan kesusastraan masa Hindu-Budha. 

Sebagaimana dikisahkan bahwa raja-raja Syeilendra tidak berani menentang atau menolak perintah gurunya. Ketika guru Brahmana datang, semua mematung, berdiri diam atau membungkuk sembari mengucapkan salam. Tentunya kisah-kisah dalam naskah kuno khas Hindu-Budha yang sudah tersebar di masyarakat tersebut sudah sedemikian dihayati oleh masyarakat. Konsekuensinya tentu adaptasi nilai-nilai Islam – yang juga mengajarkan hal serupa melalui berbagai kitab seperti yang populer Ta’limul Muta’alim dsb – lebih mudah diterima. 

Dalam naskah Silakrama di era Majapahit terdapat petuah tata krama siswa terhadap gurunya. Kurang lebih mengajarkan adab bahwa siswa tidak boleh duduk berhadapan langsung dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan, harus turun dari tempat duduknya jika guru datang atau lewat, ketundukan siswa pada guru adalah hal yang mutlak. Sehingga adanya kemiripan itu setidaknya membantu kerja-kerja dakwah walisongo dalam membumikan Islam di Jawa. Visi dan misi pendidikan dalam naskah Silakrama sendiri – dalam lingkungan gurubhakti – tidak jauh beda dengan pesantren. Yaitu salah satunya menitikberatkan pada akhlak (karakter) dan budi pekerti siswa (Aguk Irawan, 2018). 

Lebih jauh kita lihat, dalam tradisi Islam di masyarakat kita, busana muslim menjadi salah satu ciri khas tersendiri. Sarung, kopiah dan baju koko barangkali sedikit banyak merupakan sebuah proses inkulturasi dari budaya lain, tak terkecuali Hindu. Dimana laki-laki di institusi pendidikan masa pra-Islam di Nusantara memakai dhoti (busana/kain berwarna putih) sebagai sarung. Artinya antara atasan dan bawahan terpisah menjadi dua busana yang berbeda (tidak menyambung). Hingga sekarang sarung menjadi ciri khas kaum santri yang kemudian menyebar menjadi ciri Islam di berbagai lapisan masyarakat. 

Secara tidak langsung, banyak kebijakan-kebijakan para walisongo yang berhasil tersistem dan terlembagakan melalui pesantren. Baik pada sisi budaya, ideologi maupun ajaran-ajarannya yang lain. Termasuk laku praktik kebatinan dan keprihatinan yang bernuansa kejawen berhasil diubah dengan pemaknaan yang berbeda – misalnya seperti riyadhoh dan mujahadah.

Sehingga tak bisa dielakkan bahwa proses inkulturasi syiar Islam – yang beradaptasi dengan budaya dan ajaran lokal – nampak lebih menemukan signifikansinya dibanding usaha syiar Islam sebelumnya. Termasuk modifikasi episentrum pusat transmisi keilmuan yang disebut pesantren. Penyebaran pesantren yang berhasil didirikan di sejumlah daerah memiliki andil cukup besar dalam penyebaran dakwah Islam. Karena peranannya sebagai pusat pengkajian Islam selain masjid. Termasuk pesantren-pesantren di daerah terpencil dimana seringnya merupakan cabang-cabang yang didirikan oleh para santri yang telah mendapat ijazah dari sang kiai.   

Hingga Islam menjadi agama yang mayoritas sekaligus dipeluk oleh semua kalangan. Mulai dari golongan para raja dan keraton hingga para rakyat jelata. Islam di Nusantara, kata Nurcolis Majid, membawa semangat dan sistem inkulturasi, yang berarti berbeda dengan proses syiar Islam di belahan negara lain. 



Sumber Berita harakah.id

#Pesantren #Dan #Sistem #Inkulturasi #Canggih #Syiar #Islam #Nusantara

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved