Khaulah binti Tsa’labah, Perempuan yang Aduannya Didengar Allah – Bagyanews.com
Connect with us

IT

Khaulah binti Tsa’labah, Perempuan yang Aduannya Didengar Allah

Published

on

Khaulah binti Tsa’labah, Perempuan yang Aduannya Didengar Allah

[ad_1]

Berani Mendebat Nabi, Khaulah binti Tsa’labah, Perempuan yang Aduannya Didengar Allah

BagyaNews.com – Khaulah binti Tsa’labah adalah contoh perempuan yang berani menyampaikan pendapatnya dan berdebat dengan Nabi Muhammad, dan Nabi sangat menghargainya.

Kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak dasar manusia. Tidak ada
yang bisa menghalanginya, termasuk agama sekalipun. Kelompok yang
dilemahkan (mustadh’afin) kerap mendapatkan intimidasi untuk
tidak membantah sistem yang berlaku, meskipun sistem tersebut dirasa
tidak bisa dibenarkan. Perempuan,
sebagai salah satu kelompok yang kerap dipandang sebelah mata, dalam
budaya patriarki tidak sedikit yang dipaksa untuk tunduk dan menerima
apa adanya. Khaulah binti Tsa’labah adalah contoh perempuan yang berani
menyampaikan pendapatnya dan Nabi Muhammad sangat menghargainya.

‘Ali ‘Abdul Fatah dalam A’lam al-Mubdi’in min ‘Ulama’ al-’Arab wa al-Muslimin
menyatakan, Khaulah binti Tsa’labah adalah perempuan yang pernah
berdebat dengan Rasulullah dalam masalah agama. Dari apa yang dilakukan
tersebut, Khaulah menjadi yakin dan dalam pemahamannya. Ia juga sadar,
dalam Islam pendapat harus didiskusikan. Di antara hak perempuan
Muslimah adalah bebas menyampaikan pendapatnya dengan tanpa dibatasi.

Baca Juga: Zainab Bintu Jahsy, Profil Ketakwaan dan Kedermawanan

Khaulah adalah istri Aus bin Shamit. Beliau adalah perempuan
pemberani, memiliki pemikiran yang tajam, dan pemahaman agama yang dalam
serta orisinil. Keberanian Khaulah bisa dianggap sebagai sifat yang
jarang dimiliki oleh perempuan pada umumnya, terutama
perempuan-perempuan pada masa pra-Islam dan awal-awal Islam berkembang.
Luasnya pengetahuan Khaulah membuat Umar bin Khaththab kagum. Bahkan,
Umar pernah meminta Khaulah untuk memberi nasihat dan masukan untuknya.

“Wahai Umar, ingatlah pada janjimu. Engkau adalah sosok yang
telah membangun Pasar ‘Ukkâdh. Engkau mengurus (mendidik) anak-anak
dengan tongkatmu. Hari tidak berlalu sampai engkau disebut sebagai Umar.
Kemudian hari-hari terus berlalu sampai engkau disebut sebagai amîr
al-mu’minîn (pemimpin orang-orang yang beriman). Takutlah kepada Allah
ketika mangurus rakyat-rakyatmu. Ketahuilah, barang siapa yang takut
pada ancaman-ancaman Allah, maka sesuatu yang jauh akan terasa dekat.
Barang siapa yang takut mati, maka ia akan takut terputusnya (nikmat
Allah). Dan barang siapa yang yakin akan hisab (penghitungan amal, baik
maupun buruk), maka ia akan takut pada adzab (Allah)”.

Begitulah kurang lebih nasihat Khaulah yang disampaikan kepada Umar
bin Khaththab. Meskipun ada beberapa orang dekat sahabat Umar yang
menegur Khaulah karena berani menasehati ayahanda Abdullah bin Umar,
Umar bin Khaththab justru mengingatkan kepada orang-orang tersebut. Ia
mengatakan, tahukah kalian siapa gerangan yang telah menasihatiku? Ia
adalah Khaulah, seseorang yang suaranya telah Allah dengar. Untuk itu,
Umar semestinya lebih harus mendengarnya.

Perempuan yang Suaranya Didengar Allah

Para Ulama mengaitkan antara pengaduan Khaulah atas sikap suaminya,
sebagaimana akan kita lihat dalam penjelasan selanjutnya, sebagai sebab
diturunkannya QS. Al-Mujadalah ayat 1. Untuk itu, perlu kiranya kita
lihat bunyi ayat tersebut.

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ
تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(permasalahannya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara
kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib menjelaskan
asal muasal mengapa ayat ini turun. Menurutnya, ketika Khaulah sedang
shalat, Aus bin Shamit memperhatikannya. Hingga akhirnya nafsu Aus
tumbuh dan meningkat. Selesai Khaulah shalat, Aus mengajaknya untuk
berhubungan badan. Khaulah menolak. Aus kemudian marah dan menyebut
bahwa Khaulah mirip dengan ibunya. Dalam literatur fikih, ungkapan itu
disebut dzihar. Yakni, menyamakan istrinya dengan ibunya atau mahramnya.

Dzihar dalam tradisi masyarakat Arab sangat menyakiti hati seorang perempuan. Untuk itu, konsekuenai dari dzihar adalah bagi pihak suami tidak boleh menyentuh istrinya. Sebelum turunnya surat ini, dzihar
sama dengan talak (cerai). Yang menarik, Khaulah ketika mengadu kepada
Nabi Muhammad atas perbuatan suaminya adalah karena dasar
mempertimbangkan nasib anak-anaknya, sebagaimana bisa kita temukan dalam
penjelasan Ar-Razi.

Ketika mengadu kepada Nabi, Khaulah mengatakan bahwa dia memiliki
anak-anak yang masih kecil. Apabila anak-anak tersebut diserahkan kepada
Aus supaya merawatnya, maka mereka akan disia-siakan dan tidak terawat.
Sementara, apabila anak-anak tersebut ia urus sendiri, mereka akan
hidup dalam kelaparan. Karena Khaulah bukan termasuk orang yang banyak
harta, entah pekerjaan ia punya atau tidak.

Baca Juga: Kisah Sahabat Nabi Menawar Racun Kalajengking dengan Surah Al-Fatihah

Pada mulanya, Nabi memberikan satu jawaban, yakni mereka berdua sudah
tidak bisa seperti semula. Sementara Khaulah berpendapat semestinya
harus ada jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak bisa
dibenarkan hukum awal tentang dzihar diberlakukan terhadap
masalah yang sedang ia hadapi. Sebagaimana telah kita jelaskan bagaimana
nasib anak-anak Khaulah selanjutnya. Dalam keadaan yang membingungkan
ini, akhirnya Khaulah mengadahkan tangan ke atas dan berseru lantang dan
menangis;

اَللهُمَّ إِنِّي أَشكُو إِلَيكَ مَا نَزَلَ بِي

“Ya Allah, sesungguhnya saya mengadu kepada-Mu terkait masalah yang telah menimpaku ini”.

Permintaan ini tidak henti-hentinya selalu ia panjatkan. Akhirnya,
turunlah QS. Al-Mujadalah ayat 1 di atas. Sementara solusinya tertera
dalam QS. Al-Mujadalah ayat 3, yakni;

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ
نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.

Jawaban yang diberikan Allah sebenarnya tidak lantas masalah yang
dihadapi oleh Khaulah bisa teratasi dengan baik. Sebab, semua yang
ditawarkan sebagai solusi berkaitan dengan materi. Sementara Aus bin
Shamit bukanlah orang yang memiliki kekayaan lebih. Sementara puasa
sebagai solusi yang tidak berbau materi juga tidak bisa dilakukan oleh
Aus bin Shamit. Sebagaimana dijelaskan dalam sejarah, Aus adalah
laki-aki yang telah lanjut usia. Untuk itu, sebagai tawaran yang
terakhir, Aus bin Shamit diharuskan untuk memberi makan enam puluh orang
miskin, itu pun atas shadaqah Nabi yang diberikan kepada Aus untuk membantu menyelesaikan masalah yang tengah membelitnya.

Baca Juga: Sejarah Lengkap Aliran Salafi-Jihadi: Pertemuan Berbagai Kepentingan [2]

Kisah Khaulah binti Tsa’labah adalah pelajaran berharga bahwa
menyampaikan pendapat adalah hak dasar manusia. Nabi Muhammad menghargai
hal tersebut. Kisah Khaulah juga menjadi pelajaran berharga bahwa
beliau, sebagai perempuan, berpikir selangkah lebih maju dibandingkan
suaminya, laki-laki.

[ad_2]

Sumber Berita harakah.id

#Khaulah #binti #Tsalabah #Perempuan #yang #Aduannya #Didengar #Allah

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved