Cara Gus Dur Selesaikan Masalah Papua Tanpa Pendekatan Militeristik – Bagyanews.com
Connect with us

Headline

Cara Gus Dur Selesaikan Masalah Papua Tanpa Pendekatan Militeristik

Published

on

Cara Gus Dur Selesaikan Masalah Papua Tanpa Pendekatan Militeristik


BagyaNews.comCara Gus Dur menyelesaikan permasalahan Papua selalu berlandas pada nilai-nilai hak asasi manusia. Oleh karena itu, dalam polemik Papua, Gus Dur tidak pernah menggunakan pendekatan militeristik. Sebaliknya, Gus Dur mengedepankan dialog dan cenderung lebih menghargai rakyat Papua sebagai sebuah identitas kebudayaan.

Pada dasarnya, setiap kemudharatan dan kerugian harus dihindari dan dihilangkan. Tetapi perlu diingat, dalam menghilangkan kemudharatan tidak boleh menggunakan cara yang berimplikasi pada kemudharatan baru. Dalam kaidah fikih disebutkan, al-Dharar la yuzalu bi al-dharar, kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan.

Namun pada kondisi tertentu, dibolehkan menerima kemudharatan selama ditujukan untuk mengindari kemudharatan yang lebih besar. Inilah yang dimaksud oleh kaidah fikih, yutahammal al-dharar al-khas li ajli dhaf’i al-dharar al-‘am, dibolehkan mengabaikan kemudharatan segelintir orang untuk menolak kemudharatan umum.

Ibnu Nujaim dalam Asybah wa al-Nadzair menjelaskan, kaidah ini dapat digunakan untuk menjelaskan kebolehan melakukan kemudharatan selama diniatkan untuk mengindari kemudharatan yang lebih besar. Misalnya, dibolehkan menjual paksa barang dagangan yang dimonopoli oleh pihak tertentu dan mereka tidak mau menjualnya demi menyelamatkan kebutuhan orang banyak; dibolehkan juga, menurut Abu Hanifah, membatasi dan mengawasi tindak tanduk orang merdeka dan berakal bila apa yang dilakukannya dapat membahayakan orang lain, seperti mencabut izin praktek dokter yang tidak cakap mengobati pasien dan membahayakan banyak atau mengawasi seorang mufti yang sudah hilang muruahnya.

Pembatasan kebebasan ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kepentingan umum dan supaya tidak terjadi mara bahaya, sekalipun menimbulkan kemudharatan bagi pihak-pihak tertentu. Sikap seperti ini biasanya diambil pada saat berada dalam kondisi dilema dan dihadapkan pada dua kemudharatan. Pada situasi tersebut, seorang pengambil keputusan, baik pemerintahan ataupun ahli hukum, mesti cakap memilih putusan mana yang lebih kecil resikonya.

Gus Dur, pada saat menjadi Presiden RI, seringkali berada dalam kondisi ini. Hebatnya, beliau lebih sering mengedepankan dialog dan terkadang mengalah demi menghindari kerugian dan kemudharatan yang lebih besar. Pada saat menyikapi keinginan masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia, Gus Dur merespon keinginan tersebut dengan sikap bijak dan demokratis, dan tidak menggunakan pendekatan kekerasan dan militeristik.

Kehendak sebagian masyarakat Papua untuk merdeka bukanlah sesuatu yang remeh temeh dan main-main. Dalam konteks negara, hal itu dapat dianggap sebagai bentuk pengingkaran atas eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bila kondisi seperti ini terjadi pada masa Orde Baru, keinginan masyarakat tersebut akan direspon dengan tindakan represif dan militeristik (Muhaimin, Gus Dur yang Saya Kenal [2004], 159).

Pada saat Papua ingin merdeka, cara Gus Dur yang cenderung dialogis diawali dengan usaha mengajak mereka untuk tidak memisahkan diri dari Indonesia. Gus Dur bersedia memenuhi beberapa permintaan dan tuntunan masyarakat Papua asalkan tidak keluar dari Indonesia. Ketika berkunjung ke Papua dan disambut oleh puluhan ribu orang sembari menyanyikan lagu “Hai Tanahku Papua, Gus Dur menegaskan, “Kalau Anda ingin menegakkan negara dalam negara, kita berhadapan. Ini bukan kehendak saya, tetapi kehendak Anda. Tugas saya sebagai presiden adalah menjaga keutuhan wilayah Indonesia seperti diatur dalam UUD 1945. Saya akan mempertahankannya. Jika permintaan tersebut sebatas pernyataan sikap silahkan asal jangan berusaha menegakkan negara dalam negara (Muhaimin, 157).

Atas dasar itu, Gus Dur mengizinkan masyarakat Papua menggelar kongres Rakyat Papua II, bahkan diberi bantuan dana untuk melaksanakan kongres tersebut, dan akhirnya kongres ini melahirkan PDP (Presidium Dewan Papua).

Cara Gus Dur menghargai eksistensi dan identitas Papua juga ditunjukkan dengan memenuhi keinginan masyarakat Papua untuk mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Pergantian nama ini sangat didukung Gus Dur, sebab kata Irian dalam bahasa arab maknanya telanjang. Tidak hanya itu, Gus Dur pun membiarkan pengibaran bendera Papua karena dianggap sebatas simbol kultural, meskipun Wiranto pada waktu itu keberatan dengan pengibaran bendara tersebut.

Seluruh kebijakan ini diambil dan dikeluarkan Gus Dur demi menyelamatkan keutuhan NKRI, meskipun pada satu sisi, setidaknya menurut hukum kenegaraan, pengibaran bendera dan pernyataan terbuka untuk merdeka termasuk  pengingkaran terhadap negara. Dalam hal ini, Gus Dur tidak mudah terpancing emosi dan tetap bersikap bijak, sebab dalam rangka mengindari kemudharatan dan kerugiaan yang lebih besar, yaitu kehilangan Papua, berbagai macam resiko dan tantangan berat harus dilalui untuk mendapatkan hasil terbaik.



Sumber Berita harakah.id

#Cara #Gus #Dur #Selesaikan #Masalah #Papua #Tanpa #Pendekatan #Militeristik

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved