Gus Dur, Poros Tengah dan “Dengkul” Amien Rais – Bagyanews.com
Connect with us

Headline

Gus Dur, Poros Tengah dan “Dengkul” Amien Rais

Published

on

Gus Dur, Poros Tengah dan “Dengkul” Amien Rais


BagyaNews.com Poros tengah dan Amien Rais adalah dua variabel unik dalam sejarah strategi politik di Indonesia. Meskipun banyak diragukan, terpilihnya Gus Dur menjadi Presiden tentunya menjadi bukti kalau poros tengah ternyata efektif.

Gus Dur bersedia menjadi Presiden pada saat diminta Amin Rais sebagai calon Presiden dari poros tengah. Sebagaimana diketahui, ketika Pemilu tahun 1999 partai Islam mengalami kekalahan dan suaranya tidak sebanyak partai nasionalis, seperti PDI P dan Golkar. Meskipun PDI P menempati posisi tertinggi dan meraih suara terbanyak pada waktu itu, namun partai bimbingan Megawati ini tidak dapat sepenuhnya mewakili suara mayoritas masyarakat Indonesia, sebab mereka hanya mendapatkan 33% suara dan tidak sampai 50%. Untuk memenangkan kursi kepresidenan, PDI P harus berkoalisi dengan partai lain guna meraih suara terbanyak pada tahap pemilihan selanjutnya.

Saat itu, ada dua orang tokoh yang diramalkan akan memimpin Indonesia, yaitu Megawati dan B.J.Habibie. Megawati banyak dipilih karena dia mereprentasikan wajah baru dalam perpolitikan Indonesia dan sebagai anti-tesa dari Orde Baru. Meskipun demikian, menurut Amien Rais, bila Megawati menjadi Presiden, maka sangat dimungkinkan terjadinya disintegrasi. Kebanyakan warga Aceh dalam pandangan Amien tidak senang dengan Megawati, sebab dia tidak jauh berbeda dengan bapaknya, Bung Karno, yang melupakan dan mengabaikan hak-hak warga Aceh. Sementara Habibie, dia tidak disenangi oleh kebanyakan mahasiswa dan mereka tidak akan menerima. (Hamid Basyaib (ed), Mengapa Partai Islam Kalah, 353)

Oleh sebab itu, perlu dibentuk poros tengah sebagai alternatif dari Megawati dan Habibie yang dinilai lebih banyak mudharatnya jika keduanya terpilih menjadi presiden. Amin Rais pada waktu itu mengusulkan agar Gus Dur menjadi calon Presiden dari poros tengah. Gus Dur dianggap lebih maslahat dari calon lainnya karena dia dekat dengan minoritas, tidak memiliki masalah dengan TNI, masyarakat internasional juga berpandangan positif pada Gus Dur, dan dia akan mudah diterima oleh pendukung PDI-P (Mengapa Partai Islam Kalah, 354).

Ketika Gus Dur dicalonkan dari poros tengah, keputusan ini tentu membingungkan bagi sebagian tokoh NU, terutama yang sejalan dan mendukung ide-ide Gus Dur. Pasalnya, orang yang mengusulkan mencalonan ini adalah Amien Rais yang berasal dari PAN dan berlatarbelakang Muhammadiyah. Dalam tradisi politik NU, menurut AS. Hikam, sulit dicarikan refrensi historis ataupun dalil yang bisa digunakan untuk menjelaskan tindakan politik Amien Rais ini. Terlebih lagi, pertentangan tradisionalis dan modernis pada waktu itu masih hangat.

Oleh karenanya, beberapa tokoh NU tidak sepenuhnya percaya dengan sikap Amien Rais tersebut dan sebagiannya mencurigai usulan ini bertujuan untuk memecah belah warga NU. KH. Said Aqil Siradj menuding poros tengah sebagai upaya untuk memecah-belah PKB dan PDI-P. Kecurigaan para elite NU ini tentu dapat dimengerti karena fakta sejarah menunjukkan bahwa NU seringkali dikecewakan dan diabaikan pada saat bergabung dengan kelompok modernis ataupun partai lain. Misalnya ketika bergabung dengan Masyumi dan PPP.

Dalam hal ini, Gus Dur tetap bersedia menerima usulan Amien Rais meskipun dimusykilkan oleh beberapa tokoh NU. Potensi adanya keinginan segelintir orang untuk memecah belah dan menjatuhkan NU dan PKB tentu sudah dibaca dan dipahami oleh Gus Dur, tetapi beliau lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan publik daripada kepentingan segelintir orang ataupun beberapa kelompok.

Keinginan Gus Dur menjadi Presiden jelas bukan atas dasar ambisi pribadi ataupun ingin mencari jabatan semata, tetapi didasarkan pada niat untuk memperbaiki situasi bangsa, mewujudkan masyarakat demokratis, dan menjaga ketahanan dan kesatuan bangsa. Atas dasar restu beberapa orang Kiai sepuh, Gus Dur semakin mantap untuk menerima usulan poros tengah.

Pada situasi ini, antara menerima dan menolak poros tengah, Gus Dur terlihat lihai mengamalkan kaidah fikih maslahahah al-ammah muqaddamah ala maslahah al-khassah. Selain itu, keputusan Gus Dur ini sejalan dengan kaidah al-maslahah al-rajihah muqaddamun ala al-marjuhah, kemaslahatan yang terlihat jelas dan nyata mesti diprioritaskan dari kemaslahatan yang masih samar. Gus Dur melihat, kemaslahatan menjadi Presiden lebih besar dan nyata, ketimbang menolak posisi tersebut, karena pada saat menjadi Presiden, Gus Dur lebih leluasa untuk memberikan dan memutuskan kebijakan yang lebih maslahat untuk bangsa dan kepentingan umum.

“Saya heran orang mau jadi presiden saja harus keluar modal miliyaran. Saya dulu jadi Presiden malah cuma modal dengkul. Itupun dengkulnya Amien Rais…”

– Gus Dur

Dalam Qawaid al-Ahkam, ‘Izzuddin menjelaskan, berdasarkan kaidah di atas, dibolehkan mendahulukan keselamatan nyawa orang lain meskipun pada saat menyelematkan tersebut harus membatalkan puasa dan mengakhirkan ataupun mengqadha shalat. Pada saat hendak mengerjakan shalat misalnya, kita melihat ada orang yang kecelakaan ataupun tenggelam dan tidak ada yang menolongnya, maka diwajibkan menolong mereka terlebih dahulu, karena nyawa manusia tidak dapat diganti, sementara shalat dapat diqadha pada lain waktu.

‘Izzuddin Ibn ‘Abdul Salam menamsilkan ahli syariat dengan dokter. Seorang dokter bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan pasien dan berusaha semaksimal mungkin memberikan pelayanan dan pengobatan terbaik. Pada saat mengobati, dokter mestinya mampu memilah mana obat yang lebih maslahat bagi pasien dan resikonya kecil. Dokter tidak boleh mengobati pasien menggunakan obat-obat berhaya dan memilih obat yang paling bagus dan terbaik dari beberapa macam obat yang tersedia.

Demikian pula ahli syariat, mereka bertanggung jawab terhadap kemaslahatan manusia. Pada saat dihadapkan pada dua kondisi atau berada dalam posisi dilematis, ahli syariat harus pandai mengambil kebijakan dan keputusan mana yang lebih maslahat dan minim resiko. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat mengatakan, al-maslahah al-‘ammah muqaddamah ‘ala maslahah al-khassah, kemaslahatan umum lebih didahulukan dari kemaslahatan khusus. Ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama memberikan kemaslahatan, maka pilihlah kemaslahatan umum meskipun dengan mengabaikan kemaslahatan segelintir orang.

Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa kemaslahatan umum harus didahulukan di atas kepentingan pribadi. Dalam kaidah fikih ditegaskan, af’al al-muta’addi afdhal min al-qashir, perbuatan atau ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual. Dalam menolong dan membantu orang lain, tentu sedikit banyaknya urusan pribadi dan kemaslahatan kita akan terganggu. Namun hal itu lebih utama di hadapan Allah SWT ketimbang kita  mendahulukan kemaslahatan pribadi dengan mengorbankan kemaslahatan orang banyak.



Sumber Berita harakah.id

#Gus #Dur #Poros #Tengah #dan #Dengkul #Amien #Rais

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved