Usaha Soeharto Menggulingkan Gus Dur di Muktamar NU Cipasung – Bagyanews.com
Connect with us

Headline

Usaha Soeharto Menggulingkan Gus Dur di Muktamar NU Cipasung

Published

on

Usaha Soeharto Menggulingkan Gus Dur di Muktamar NU Cipasung


BagyaNews.com Usaha Soeharto menggulingkan Gus Dur di uktamar NU Cipasung menjadi saksi kesekian kalinya perseteruan Gus Dur dan Rezim Orba. Dalam Muktamar tersebut, Soeharto dan pemerintah konon merekayasa sebuah gerakan untuk menggulingkan Gus Dur dari kursi pimpinan NU.

Setiap orang pasti menginginkan kebebasan dan melakukan  apapun sesuai keinginan hatinya tanpa dipaksa dan dipengaruhi orang lain. Kebebasan ini tidak hanya dijamin oleh negara ataupun pemerintah, tetapi Islam pun menjamin setiap kebebesan individu maupun komunitas selama tidak melanggar aturan dan norma agama.

Oleh sebab itu, semasa hidupnya, Rasulullah SAW berjuang untuk menghapuskan tradisi perbudakan secara bertahap.  Dalam banyak hadis disebutkan, memerdekakan budak termasuk perbuatan mulia, bahkan Rasululullah mengancam orang yang memperbudak orang merdeka. Umar Ibn Khatab mengatakan, “Kenapa engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan ibunya dalam kondisi merdeka”.

Dalam sebuah kaidah fikih ada kaidah;

الْحُرُّ لَا يَدْخُلُ تَحْتَ الْيَدِ

Orang merdeka tidak berada di bawah kekuasaan orang lain

Dalam fikih, orang merdeka (al-hur) berati orang yang tidak berada di bawah pengawasan dan kekuasaan orang lain. Dia berhak melakukan apapun, menentukan pilihan, memilih siapapun sesuai keinginanya tanpa ada paksaan, dan dikenakan sanksi bila melanggar aturan yang telah disepakati atau norma yang terdapat dalam agama.

Sementara budak, yaitu orang yang berada di bawah kekuasaan orang lain, tidak dapat disamakan statusnya dengan orang merdeka. Mereka diberi keringanan hukum bila melakukan kesalahan dan pada saat menikahpun tidak diharuskan membayar mahar sebagaimana orang merdeka. Meskipun ada perbedaan hukum antara orang merdeka dan budak, hal ini bukan berati Islam merestui perbudakan. Aturan ini dibuat karena pada konteks zaman dulu, sistem perbudakan belum sepenuhnya hilang dan masih membudaya pada sebagian masyarakat.

Gus Dur termasuk orang yang berada di garda depan dalam menyuarakan prinsip kebebasan ini. Kebebasan dipahami Gus Dur tidak hanya dalam konteks individu, tetapi juga komunitas dan organisasi. Setiap organisasi mestinya diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan dan melaksanakan agendanya tanpa ada intervensi dari pemerintahan selama tujuan organisasi tersebut tidak bertentangan dengan aturan negara. Sebab itu, Gus Dur tidak pernah lelah mengkritik dominasi Soeharto terhadap ormas-ormas Islam. Ia menyampaikan kritikan tersebut secara terbuka dan terang-terangan.

Kritikan Gus Dur terhadap Sorharto semakin keras pada era tahun 90-an. Pada tahun 1990, Gus Dur termasuk intelektual yang mengkritik dan menolak pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan dia tidak mau bergabung dengan organisasi tersebut. Gus Dur menolak ICMI karena dikhawatirkan nanti digunakan oleh pemerintah untuk mengontrol dan mengarahkan kaum intelektual. Pendirian ICMI secara tidak langsung bentuk penjajahan halus bagi kaum intelektual (Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur [2010], 196).

Sikap keras Gus Dur ini tentu membuat jengkel dan kesal Soeharto. Ia menjadi benih-benih upaya Soeharto menggulingkan Gus Dur. Terlebih lagi, pada tahun 1992, Gus Dur menyelenggarakan Apel Akbar sebagai bentuk penolakan atas pencalonan kembali Pak Harto, sedangkan ormas Islam lain sudah sepakat untuk mendukung Pak Harto menjadi Presiden berikutnya.   Dikarenakan Gus Dur berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Orde Baru, Akhirnya Pak Harto berusaha menekankan Gus Dur dengan cara mengajak warga NU untuk tidak memilih Gus Dur pada muktamar NU Cipasung tahun 1994. Usaha Soeharto menggulingkan Gus Dur dari pucuk pimpinan NU pun dimulai.

Penolakan atas Gus Dur sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum muktamar. Kampanye anti Gus Dur ini dilakukan oleh sebagian unsur ICMI bekerjasama dengan para Jenderal, seperti Feisal Tanjung, Hartono, dan lain-lain.

Para pengkritik Gus Dur ini mengusulkan tiga calon tandingan: Abu Hasan, Chalid Mawardi, dan Fahmi Syaifuddin (NKR, NU dan Bangsa, 307). Pada saat muktamar, suasana muktamar bertambah panas karena banyaknya tentara yang hadir dan banyaknya intel yang menyamar menggunakan seragam Banser. Apalagi pada waktu pemilihan, pengawasan dilakukan oleh tentara dengan begitu ketatnya. Pemandangan ini tentu tidak biasa bagi warga NU dan sangat berbeda dengan Muktamar sebelumnya.

Sebenarnya, Gus Dur tidak ingin mencalonkan diri untuk menjadi Ketua Umum NU. Akan tetapi, karena para elite Orba sudah mulai mengintervensi dan ingin mengendalikan NU, maka Gus Dur ingin maju kembali untuk menghadang dominasi Orba. Terlebih lagi, Soeharto mulai mengembangkan sayap dan menguasai sebagian Ormas-ormas Islam supaya mendukung kekuasaannya. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur pada Muktamar Cipasung adalah tantangan balik bagi usaha Soeharto menggulingkan Gus Dur.

Dan pada waktu itu, memang Gus Dur yang sangat tepat untuk menampik serangan Soeharto tersebut. Andaikan Abu Hasan memenangkan pemilihan tentu akan melapangkan jalan Soeharto untuk mengatur dan mengintervensi NU. Untungnya, berkat bantuan langit, Gus Dur bersama KH. Ilyas Rukhiyat, sebagai Rais Am, berhasil memenangkan pemilihan dan mendapat dukungan suara terbanyak. Itu artinya, NU berhasil keluar dari penjajahan terselubung para penguasa Orde Baru.



Sumber Berita harakah.id

#Usaha #Soeharto #Menggulingkan #Gus #Dur #Muktamar #Cipasung

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved