Belajar Cinta Tanah Air Dari KH. Wahab Chasbullah – Bagyanews.com
Connect with us

Headline

Belajar Cinta Tanah Air Dari KH. Wahab Chasbullah

Published

on

Belajar Cinta Tanah Air Dari KH. Wahab Chasbullah


BagyaNews.comBelajar cinta tanah air bisa dilakukan dari dan melalui apa saja. Salah satunya dari Kiai Wahab Chasbullah. Sosok ulama dan kiai penggerak yang secara jelas-jelas menyatakan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Kjai Wahab seperti djuga halnja dengan kjai Hasjim Asj’ari dan lain-lain pembina Nahdlatul Ulama jang telah tiada, mereka telah memulai menulis sedjarah jang amat besar. Menulisnja tidak hanja memakai huruf-huruf ketjil a-b-c dan sebagainja, akan tetapi djuga dengan huruf-huruf besar jang berupa perbuatan amal jang mendatangkan martabat serta keharuman bangsa dan masjarakatnja. Buku sedjarah jang ditulisnja itu belum selesai, sungguhpun dari padanja kita telah memperoleh petundjuk jang besar. Kewadjiban kita sebagai generasi penerus melandjutkan penulisan buku sedjarah tersebut dengan rangkaian amal serta prestasi jang tidak sadja tidak merusak bab-bab dan fasal-fasalnja, akan tetapi djuga mempertahankan irama bahasanja, bahasa perdjoangan jang telah ditulisnja.

____________________ KH. Saifuddin Zuhri

Landasan dan Sejarah

Dalam sebuah cuitan di Twitter pada 30 November 2012, salah seorang tokoh sebuah organisasi yang telah dibubarkan oleh pemerintah RI mengatakan bahwa “membela nasionalisme, nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya | membela Islam, jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya.” Kicauan ini memberikan kesan kuat bahwa nasionalisme tidak ada landasan agamanya, membela tanah air tidak ada ajarannya, dan nasionalisme bukan Islam. Pada gilirannya, pandangan seperti ini akan menjadi amunisi yang menyuburkan ekstrimisme, sektarianisme agama, bahkan memperkuat ancaman disintegrasi bangsa.

Pendapat ini hanya lahir dari seseorang yang tuna literasi dan ahistoris. Mengapa demikian, karena sejumlah data menunjukkan sebaliknya. Pertama, hadis sahih riwayat al-Tirmidzī (w. 279 H), Ibn Ųibbān (w. 354 H), dan al-Ųākim (w. 405 H) dari sahabat dari ʿAbdullāh b. ʿAbbās (w. 68 H) rađiyallāhu ʿanhumā bahwa sesaat sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, Rasulullah berdiri di batas kota dan membalikkan badannya menghadap kota Makkah seraya berkata, “ aţyabuki min baladin wa-mā ahabbuki ilayya, wa-law-lā anna qawmī akhrajūnī minki mā sakantu ghayraki (alangkah baiknya kau sebagai negeri dan betapa cintanya diriku terhadapmu. Andai kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di kota selainmu).” Hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari ajaran penting yang dicontohkan oleh Rasulullah șallallāhu ʿalayhi wa-sallam. Riwayat lain yang menguatkan hal ini adalah salah satu sebab turun surat al-Nașr/110 adalah kerinduan Rasulullah kepada tanah kelahirannya, Makkah.

Kedua, tokoh hadis bernama Ibn Ųajar al-ʿAsqalānī (w. 852 H) dalam masterpiecenya yang berjudul Fath al-Bārī Syarų Șahih al-Bukhārī dan Badr al-Dīn al-ʿAynī (w. 855 H) dalam karyanya berjudul ʿUmdat al-Qārī Syarh Șahih al-Bukhārī -ketika menjelaskan hadis tentang sikap Rasulullah saat akan masuk Madinah dengan cara mempercepat laju untanya- kedua mereka, Ibn Ųajar dan al-ʿAynī menyatakan bahwa dalam hadis ini ada dalil keutamaan kota Madinah dan dalil syariat mencintai tanah air serta merindukannya (dalālah ʿalā fađl al-Madīnah wa-ʿalā masyrūʿīyat hubb al-waţan wa-al-hanīn ilayhi). Kedua mereka bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari syariat ajaran Islam.

Setelah Ibn Ųajar dan al-ʿAynī, tampaknya istilah hubb al-waţan menjadi sangat populer. Sehingga para kolektor hadis-hadis yang populer di masyarakat yaitu Abd al-Raųmān al-Sakhāwī (w. 902 H) menyebutkan “hadis” hubb al-waţan min al-īmān dalam karyanya yang berjudul al- Maqașid al-Hasanah fi Bayāni Katsīrin min al-Āhādīts al-Masyhūrah fi al-Alsinah. Al-Sakhāwī memberikan catatan, “lam aqif ʿalayhi wa-maʿnāhu șahih (saya belum mengambil sikap terhadap hadis ini, tapi maknanya benar). Demikian pula halnya dengan sarjana Muslim kenamaan bernama Jalāl al-Dīn al-Suyūţī (w. 911 H) atau biasa disebut al-Suyūţī melakukan hal yang sama dengan al-Sakhāwī yaitu menyebutkan “hadis” hubb al-waţan min al-īmān dalam karyanya yang berjudul al-Durar al-Muntatsirah fi al-Ahādīts al-Musytahirah. Senada dengan al-Sakhāwī, al-Suyūţī juga memberikan catatan yang sama yaitu lam aqif ʿalayhi. Sampai pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa ungkapan hubb al-waţan min al-īmān adalah sesuatu yang populer di masyarakat Muslim. Artinya, ungkapan ini bukan istilah yang sama sekali baru, melainkan merupakan sesuatu yang sudah masyhur di kalangan umat dan dunia Islam.

Sementara itu, di Indonesia, ungkapan hubb al-waţan min al-īmān diperkenalkan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah (w. 1971). Kiai Wahab menggagas konsep ųubb al-waţan min al-īmān pada tahun 1934 yang diabadikan dalam syair gubahannya menjadi lagu Syubbanul Wathan.

Catatan lain menyebutkan bahwa “hađrat al-syaykh” KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) yang kemudian menggaungkannya dalam “fatwa jihad” melawan penjajah pada tahun 1945, yang kemudian dikenal dengan nama “resolusi jihad”.

Berbeda dengan sejumlah sarjana Muslim tersebut, Syafiq Mughni (2021), salah seorang Ketua PP. Muhammadiyah menyebutkan bahwa slogan hubb al-waţan min al-īmān pertama kali dicetuskan pertama kali di penghujung abad ke-19 oleh seorang misionaris Kristen berkebangsaan Suriah yang bernama Butrus al-Bustani. Dampak dari slogan ini, lahir gerakan kebangkitan yang menentang segala bentuk sektarianisme di Suriah pada saat itu.

Mengenal Kiai Wahab: Ulama Paripurna

Kiai Wahab memiliki nama Abdul Wahab Chasbullah. Lahir di dalam lingkungan pesantren Tambakberas, Jombang pada tahun 1887 dari pasangan Kiai Chasbullah Said dan Nyai Latifah. Gus Dul (panggilan muda Kiai Wahab) menghabiskan waktu 20 tahun sebagai santri di berbagai pesantren sejak usia 7 tahun. Secara kronologis, Pesantren Tambakberas (Kiai Chasbullah), Pesantren Langitan (Kiai Ahmad Sholih), Pesantren Mojosari (Kiai Sholeh dan Kiai Zainuddin), Pesantren Tawangsari (Kiai Mas Ali dan Kiai Mas Abdullah), Pesantren Bangkalan (Kiai Cholil), Pesantren Bronggahan Kediri (Kiai Fakihuddin), dan Pesantren Tebuireng (Kiai Hasyim Asyari) adalah pusat-pusat studi yang membentuk karakter keilmuan dan kecendekiawanan Kiai Wahab, dan di pesantren Tebuireng inilah kedalaman dan keluasan ilmu Gus Dul terbentuk melalui kelompok “musyawarah” bentukan Kiai Hasyim khusus untuk calon-calon Kiai. Kiai Manaf Abdul Karim Lirboyo, Kiai Abbas Buntet, dan Kiai Asad Syamsul Arifin Situbondo adalah beberapa teman seangkatan Kiai Wahab di kelas musyawarah ini. “Pengalaman hidup Kiai Wahab menyajikan suatu contoh paling ideal dari karir pendidikan seorang santri yang akhirnya menjadi seorang kiai ternama pada masanya,” demikian tulis Zamakhsari Dhofier, seorang pakar studi pesantren.

Selepas dari Tebuireng, Kiai Wahab melanjutkan studi ke Tanah Suci Makkah dan menimba ilmu kepada sejumlah ulama yang mukim di Makkah yaitu Syekh Mahfuz Termas (w. 1920), Kiai Muhtarom Banyumas, Syekh Saīd al-Yamānī (w. 1352 H), Syekh Aųmad b. Bakrī Syaţā (w. 1332 H), Syekh Khatib Minangkabau (w. 1334 H), Kiai Baqir Yogyakarta (w. 1363 H), Kiai Asyʿari Bawean, Syekh Abd al-Karīm al-Dagestānī (w. 1338 H), Syekh Abdul Hamid Kudus (w. 1334 H), Syekh ʿUmar Bājunayd (w. 1354 H). Perjumpaan Kiai Wahab dengan sejumlah ulama besar baik di pesantren di Indonesia maupun di Makkah tersebut, menunjukkan kekayaan sekaligus keragaman ilmu yang dikuasai oleh Kiai Wahab.

Karir akademik Kiai Wahab yang outstanding tersebut ternyata diramaikan juga oleh kiprah sosialnya yang menjadi kontribusi bagi perjalanan sejarah bangsa. Bermula dari penunjukkan sebagai Lurah Pondok oleh Kiai Hasyim di Pesantren Tebuireng, Kiai Wahab mengawali aktivitas sosialnya mengurusi kebutuhan santri. Selanjutnya, sesaat setelah SI (Sarikat Dagang Islam) berdiri, Kiai Wahab bersama beberapa kiai mendirikan SI cabang Makkah. Setelah itu secara berturut-turut, bersama sejumlah kiai, Kiai Wahab mendirikan Taswirul Afkar (1914), Nahdlatul Wathon (1916), Nahdlatut Tujjar (1918), Taʿmirul Masajid (1923), membentuk Komite Hijaz dan Nahdlatul Ulama (1926). Setahun berikutnya, Kiai Wahab merintis menerbitkan majalah bulanan Swara Nahdlatul Ulama (1927).

Sepuluh tahun kemudian, bersama Kiai Ahmad Dahlan (w. 1923), Kiai Mas Mansoer (w. 1946), dan W. Wondoamiseno (w. 1952), Kiai Wahab membidani kelahiran federasi organisasi Islam bernama al-Majlis al-Islami Aʿla Indonesia (MIAI) di Surabaya pada 1937 yang kemudian berubah nama menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1943.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1947, Kiai Wahab menjadi Rais Am pertama NU (Kiai Hasyim disebut Rais Akbar) hingga tahun 1971. Di bawah kepemimpinannya, NU pernah menjadi partai politik, dan pada tahun 1955 mampu mendongkrak kursi di parlemen dari 8 menjadi 45 kursi.

Kiai Wahab wafat, empat hari setelah muktamar ke-25 di Surabaya yang memilihnya kembali sebagai Rais Am selesai, tepatnya pada 29 Desember 1971 di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, nama yang Ia berikan untuk pesantren tinggalan kakeknya. Kiai Wahab atau KH. Abdul Wahab Chasbullah kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 115/III/2014 tanggal 6 November 2014.

Mendefinisikan Cinta Tanah Air

Terlepas dari kronologi dan ragam sejarah kemunculan ungkapan hubb al-waţan min al-īmān, semua sepakat bahwa cinta tanah air adalah sesuatu yang natural dan penting dalam kehidupan setiap individu dan kelompok. Jean-Jacques Rousseau (w. 1778), seorang failasuf Prancis yang pemikiran filosofinya mempengaruhi revolusi Prancis, menekankan bahwa perlu ada kesetiaan tertinggi (a supreme loyality) kepada tanah air, sebuah kewajiban suci yang menjadi satu sendi kepercayaan agama.

Senada dengan Rousseau, Mahmūd ʿAsyūr (w. 2018), salah seorang mantan Deputi al-Azhar dan anggota Majmaʿ al-Buhūts al-Islāmīyah (Badan Riset Islam), dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa tanah air adalah potongan kecil dari bumi yang dihuni oleh sekelompok manusia untuk kehidupan dan kelestarian hidup. Ia adalah sesuatu yang sangat berharga, sehingga agama Islam meninggikannya dengan menjadikan cinta tanah air dan membelanya adalah sebuah kewajiban, dan sebaliknya yang bermain-main dengan konsep ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap syariat.

Selanjutnya, bagaimana cinta tanah air atau nasionalisme didefinisikan? Menurut Rousseau, nasionalisme adalah kesatuan moral rakyat yang terpaut bersama untuk mencapai tujuan bersama. Sementara Hertz (w. 1964), sosiolog dan sejarawan Inggris asal Austria, menyebutkan bahwa setidaknya ada 4 hasrat yang harus terkandung di dalam nasionalisme, yaitu hasrat untuk mencapai kesatuan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, hasrat untuk mencapai keaslian, hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.

Berpijak pada dua pendapat tersebut, maka nasionalisme adalah kesatuan rakyat untuk mencapai tujuan bersama yang mengandung kesatuan atau persatuan bangsa melalui demokrasi Pancasila; merdeka berpikir dan berbuat, merdeka dari penindasan dan merdeka secara ekonomi; memiliki keaslian karakter bangsa yang ramah, toleran, guyub, gotong royong, dsb.; serta memiliki kehormatan sebagai sebuah bangsa yang besar dengan pertahanan negara dan kedaulatan politik.

Secara bahasa, Ibn Manżūr (w. 1311) mengartikan al-waţan sebagai tempat tinggal manusia atau tempat mengikat hewan (sapi atau kambing). Sedangkan menurut istilah, Afqih (2016) mendefinisikan waţan sebagai tempat lahir atau tempat manusia menetap dan tinggal. Kata waţan kemudian diasosiasikan kepada pengertian tanah air. Seseorang yang mencintai tanah air dan rela berkorban untuknya disebut sebagai waţanī. Jelasnya, paham yang mengajarkan cintai tanah air, punya rasa memiliki; tulus berkorban demi menjaga, membela, melindungi dan merawat, serta memajukan bangsa dan tanah air disebut nasionalisme.

Mencintai Tanah Air: Manifestasi Iman

Adalah Kiai Abdul Wahab Hasbullah yang pertama kali menggagas konsep berbangsa dan bernegara umat Islam atau yang kemudian dikenal dengan “fikih kebangsaan” (fiqh muwāţanah/waţanīyah). Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1916, Kiai Wahab mendirikan

sekolah kebangsaan (mungkin yang pertama di dunia) dengan nama “Nahdlatul Wathon” di Surabaya. Beberapa tahun kemudian, melalui syair gubahannya, Kiai Wahab memperkenalkan istilah ahl al-waţan dan hubb al-waţan min al-īmān.

ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ
حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ
وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ
اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ

Kiai Wahab juga yang menggelorakan semangat cinta tanah air melalui sesuatu yang ia sebut dengan “ruh kebumiputeraan” (rūh al-waţanīyah) melalui tulisannya dalam sebuah artikel berjudul “Pendidikan Kewatakan”. Kiai Wahab menyatakan,

Umat Jepang kawit alit sampun dipun sarapi kuwati kebumiputeraan. Kawit alit sampun sami nembang ngagemi remen tanah airipun. Bocah-bocah Jepang tasek gangsal tahun sampun sami nderes lan ngapalaken tarikh tanah airipun lan ceriyosan lampah- lampah ipun poro perajurit Jepang ingkang zaman kina-kina […] Saking puniko bocah- bocah mindak ageng kang sarono ruh kebumiputeraan (rūh al-waţanīyah) mulad-muled ing dadanepun.”

Rakyat Jepang sejak kecil telah dibekali kebumiputeraan. Sejak kecil mereka telah mendendangkan lagu yang membuat mereka mencintai tanah air mereka. Anak-anak Jepang berusia 5 tahun telah belajar dan hafal sejarah tanah airnya. Mereka juga saling bercerita tentang kisah-kisah kepahlawanan para prajurit Jepang di masa lalu […] Oleh karenanya, anak-anak Jepang tumbuh dewasa dengan semangat kebumiputeraan [rūh al-waţanīyah] yang menyala-nyala di dada mereka.”

Artinya, bagi Kiai Wahab mencintai tanah air adalah manifestasi iman, dan karenanya, mencintai tanah air harus dilandasi dengan keyakinan bahwa tanah air Indonesia ini adalah anugerah Allah yang hanya diberikan kepada orang-orang baik. Dalam sebuah pidato sebagai Rais Am pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, yang dibacakan oleh Kiai Bisri Syansuri (w. 1980), Kiai Wahab menyatakan,

Kita tidak dapat membangun di atas bumi ini kalau kita tidak mewarisi atau mempusakai bumi ciptaan Allah subhānahū wa-taʿālā. Akan tetapi, bagaimana kita bisa mewarisinya jikalau kita tidak termasuk hamba-hamba Allah yang salih-salih. Padahal ayat di muka itu telah dengan gamblangnya memfirmankan bahwa hanya orang-orang yang salihlah yang akan mempusakai bumi ini.”

Sebagai orang beriman, setiap Muslim di mana pun berada memiliki kewajiban untuk mencintai tanah airnya. Setiap Muslim di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus meyakini bahwa mencintai tanah air dan membelanya adalah kewajiban individu (farđ ʿayn) yang melekat kepadanya sebagai bentuk perwujudan keimanannya.

Mencintai Tanah Air: Merdeka dalam Berbangsa, Pendidikan, dan Ekonomi

Cinta tanah air dalam pandangan Kiai Wahab juga membebaskan tanah air dari belenggu perbudakan, penjajahan, kolonialisme, dsb. Menurutnya, “perbudakan itu bukan made in Islam, … Islam hadir dengan misi pembebasan dan pemberantasan praktik perbudakan. Jadi, kalau ada yang beranggapan perbudakan made in Islam, itu salah,” tandas Kiai Wahab.

Dalam syair yalal waton versi awal atau versi panjang, Kiai Wahab menuliskan dua kalimat yang secara jelas mengajak anak bangsa untuk merdeka, melawan penjajah (wa-lā takun ahl al-ųirmān), dan menolak dijadikan sapi perahan (wa-lā takun baqar al-zimār). Mencintai tanah air adalah memerdekakan segenap bangsa dari penjajahan.

Selain merdeka dari penjajahan, mencintai tanah air juga harus mewujud dalam bentuk merdeka dalam pendidikan sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai Wahab dengan mendirikan Nahdlatul Wathan bersama Kiai Mas Mansur. Kiai Wahab bahkan mendorong melek literasi dan terwujudnya pendidikan bagi semua, laki-laki atau perempuan. Baginya, tidak hanya kaum lelaki yang harus merdeka dari buta huruf, tetapi juga perempuan.

Pada tahun 1918, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (NT) sebagian bagian dari membangkitkan semangat kemerdekaan dan menggelorakan kemandirian secara ekonomi. Selanjutnya, atas prakarsa Kiai Abdul Halim, sahabatnya yang mendirikan serikat dagang (Syirkah Tijarīyah), Kiai Wahab menginstruksikan pengurus NU untuk mendirikan koperasi di wilayah masing-masing.

Kulo al-faqīr ila rahmati rabbih ʿAbd al-Wahhab bin Hasbullah ngaturi perikso dateng poro sederek. Milo kulo mboten sepindah peng kaleh kimawon, ananging sering- sering anggegerehi (taųrīđ) poro muslimin kang supados samiho rukunan ngajuaken kegiatan pendamelan kang sarono damel koperasi (sharikah). Selajeng poro lid-lid ipun sami merluaken tumbas nopo kaperluanipun ing wahu toko koperasi. Awet mekaten wahu mestinipun ndugiaken keraketaning sami-sami sederek Islam guyup rukun kang sampun ceto kaperintah agami.”

Saya Abdul Wahab bin Chasbullah memberitahu kepada saudara-saudara, dan Saya tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali mendorong umat Islam agar bergotong royong membuat kegiatan usaha dengan membentuk koperasi. Selanjutnya, ketika anggota koperasi memerlukan sesuatu maka ia cukup membeli di koperasi tersebut. Yang demikian itu akan mendatangkan kedekatan, suasana guyup, rukun antar sesama umat Islam yang jelas diperintahkan oleh agama.

Perhatian Kiai Abdul Wahab terhadap kemandirian ekonomi umat ini merupakan bagian dari cara mencintai tanah air. Karena menurut Kiai Wahab, cita-cita (kemerdekaan) dapat diraih dengan dukungan logistik yang cukup (harta). Dalam konteks ini, maka sebagai bagian dari mencintai tanah air, masyarakat dan tentu pemerintah harus memiliki perhatian yang serius terhadap UMKM, koperasi, pedagang kecil, asongan, dan unit-unit usaha lainnya, sebagai bentuk kemandirian ekonomi.

Mencintai Tanah Air: Memakmurkan Bangsa dan Menjaga Persatuan

Dalam pandangan Kiai Wahab, mencintai tanah air yang merupakan manifestasi iman harus mewujud dalam tindakan dan kerja-kerja aktif memakmurkannya menjadi tanah air yang sejahtera, aman, makmur, dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Kiai Wahab menegaskan,

Mempusakai atau mewarisi bumi ini artinya tentulah membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman, dan makmur, yang di dalamnya berisi keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.”

Bagi Kiai Wahab, tanah air adalah sarana manusia mengemban tugas kekhalifahannya, dan mencintai tanah air adalah “tugas kembar” bersama ibadah. Bumi atau Indonesia ini adalah sarana (wasīlah), dan kemakmuran, keamanan, kesejahteraan, dan kebahagiaan lahir batin penduduknya adalah tujuan-tujuan utamanya (maqāșid).

Menurut ajaran Islam, membangun untuk kemakmuran dan beribadah serta beramal salih adalah tugas-tugas kembar yang tak boleh dipisah-pisahkan. Kita akan mempunyai kesempatan membangun bila saja kita mempusakai bumi ini.”

Selain memakmurkan negeri sebagai wujud cinta tanah air, Kiai Wahab juga menegaskan urgensi menjaga persatuan bangsa. Dalam konteks merebut kemerdekaan, Kiai Wahab berpandangan bahwa modal utama kemerdekaan bangsa Indonesia adalah persatuan, “karena dengan persatuan itulah kita akan dapat mencapai cita-cita kita. Tidak ada senjata yang lebih tajam dan lebih sempurna lagi selain persatuan,” tutur Kiai Wahab.

Salah satu cara untuk menjaga persatuan di kalangan umat Islam, Kiai Wahab menekankan keutamaan mengikuti salah satu dari 4 mazhab fikih. Berikut pernyataannya menjawab tudingan bahwa bermazhab menyebabkan kemunduran dan kematian agama/umat.

Sumende dateng salah setunggale sekawan madzāhib wahu mboten kok ndugiaken keapesan utawi kapejahan. Malah ndugiaken persatuan. Umpami poro muslimin mboten cepengan madzāhib sekawan sampun tamtu haluanipun pecah-pecah miturut itunganipun katahe tiange awit saben-saben tiang ijtihad piyambak saking al-Qur’an lan hadis…

Mengikuti salah satu dari empat mazhab tidak menyebabkan kelemahan atau kematian. Sebaliknya, justru menyebabkan persatuan. Seandainya umat Islam tidak berpegang pada mazhab empat niscaya haluan mereka akan terpecah sesuai hitungan banyaknya orang, sebab setiap orang akan berijtihad sendiri langsung dari al-Qur’an dan hadis..

Selanjutnya secara lebih jelas dan spesifik, Kiai Wahab menginisiasi konsep persatuan dalam empat persaudaraan: Ukhūwah Nahđīyah (persaudaraan sesama warga NU), Ukhūwah Waţanīyah (persaudaraan sesama anak bangsa Indonesia), Ukhūwah Islāmīyah (persaudaraan sesame umat Islam), dan Ukhūwah Insānīyah/Basyarīyah (persaudaraan sesame manusia). Bagi Kiai Wahab, ukhūwah nahđīyah atau persaudaraan sesama warga NU saja tidak cukup, karena Indonesia tidak hanya dihuni oleh warga NU, tetapi ada masyarakat yang heterogen, baik suku, ras, agama, bahasa, dsb. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kiai Wahab melalui syair gubahannya mengatakan, “Indonesia bilādī, anta unwānul fakhāma… (Indonesia adalah negeriku, Engkau adalah panji martabatku…). Komitmen ukhūwah waţanīyah ini kiranya yang mendorong Kiai Wahab untuk melakukan kerja-kerja kolektif kebangsaan, di antaranya seperti bekerja sama dengan kelompok atau tokoh di luar NU seperti Dr. Soetomo di dalam kelompok diskusi Indonesische Studie Club pada tahun 1920-an dan keterlibatan NU dengan masuk dalam Korindo (Kongres Rakyat Indonesia).

Keempat persaudaraan tersebut bisa juga dimaknai bukan sebagai “ikatan antar sesama”, melainkan ikatan yang dibangun atas dasar, prinsip, dan nilai-nilai ke-NU-an, kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan. Keempat dasar, prinsip, dan nilai-nilai tersebut harus menjadi pijakan anak bangsa dalam mewujudkan persatuan, kesatuan, dan keharmonisan di Indonesia.

Simpulan

Dalam rangka mencintai tanah air dan meneladani Kiai Wahab, masyarakat Indonesia pada umumnya dan kaum santri khususnya dituntut untuk mentransformasikan keyakinan agamanya atau keimanannya dalam wujud aktivitas, kerja, dan karya-karya sosial kolektif demi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan masyarakat dunia.

Belajar dari konsep persaudaraan Kiai Wahab, tuntutan untuk membuka diri merupakan sesuatu yang penting. Jalinan persaudaraan tidak hanya terbatas pada lingkungan komunitas sendiri yang eksklusif, tetapi meluas pada pembentukan kohesi sosial sesama anak bangsa dan pelibatan diri dalam jaringan internasional atas nama kemanusiaan melalui kerja-kerja kreatif yang substantif dan akomodatif.

Terakhir, mencintai tanah air ala Kiai Wahab juga meniscayakan masyarakat yang memiliki kemandirian ekonomi. Setiap anggota masyarakat didorong untuk berdaya secara ekonomi dengan mengasah potensi kewirausahaan (enterpreneurship), mendirikan unit-unit usaha, dan bekerja sama dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi masyarakat seperti koperasi.

* Disampaikan dalam Sosialisasi Empat Pilar (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945) dengan tema Mencintai Tanah Air, Meneladani Pahlawan Bangsa pada hari Jumat, 12 November 2021 di Aula Nurussalam Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.



Sumber Berita harakah.id

#Belajar #Cinta #Tanah #Air #Dari #Wahab #Chasbullah

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved