“Sertifikat halal itu pada hakikatnya adalah fatwa tertulis, (artinya) sertifikat halal adalah masalah keagamaan. Semua proses dalam rangkaian bisnis di dalam jaminan produk halal, endingnya adalah penetapan suatu produk halal atau tidak,” kata Sholahudin seperti dikutip dari laman MUI, Rabu (01/09/2021).
Ia menjelaskan, proses penetapan halal tidaknya suatu produk dimulai dari pendaftaran, penetapan standar halal sebagai acuan penelaahan oleh Badan Penyelenggara Produk Halal (BPJH). Setelah verifikasi dan auditing (pengawasan) dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI), hingga akhirnya ditetapkan Komisi Fatwa MUI.
Baca juga: Masa Berlaku Sertifikat Halal Jadi 4 Tahun, IHW: Mudahkan Dunia Usaha
“Mengapa hal ini (tanda halal) menjadi penting, karena memang dalam ajaran Islam, harus memilih dan memilah bahwa apa yang dikonsumsi diyakini kehalalannya,” katanya.
Memastikan barang yang dikonsumsi halal adalah hal penting bagi umat muslim. Namun cukup sulit untuk mengetahui sebuah produk halal atau tidak tanpa adanya tanda halal secara perorangan.
“Sulit bagi orang per orang menelusuri kehalalan suatu produk dari sisi bahan maupun proses. Oleh karena itu, umat muslim perlu untuk mendapatkan perlindungan melalui tanda halal. Jadi tanda halal itu merupakan upaya perlindungan terhadap keyakinan umat Islam dalam mengonsumsi suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika,” katanya.
Baca juga: Produk Kasur Ini Jadi yang Pertama Kantongi Sertifikat Halal MUI
(abd)