Abu Hamid Muhammad al-Ghazali atau lebih dikenal sebagai Imam al-Ghazali dalam bukunya berjudul “
Ihya’ ‘Ulum al-Din” menyebut 6 hukum yang diwajibkan dalam berpuasa.
Pertama, untuk mencari bulan baru Ramadhan . Jika ada awan, tiga puluh hari dari bulan Syaban harus diselesaikan. Pemandangan bulan baru Ramadhan hanya didasarkan pada bukti satu orang saja yang memiliki kecerdasan, sedangkan bulan dari Idulfitri didasarkan pada bukti dari dua Muslim yang saleh.
Jika bulan baru terlihat di satu tempat dan tidak terlihat di tempat lain, dan jika jarak antara dua tempat itu kurang dari sekitar dua mil (sekitar 3,2 km), maka wajib bagi penduduk kedua tempat untuk tetap berpuasa. “Namun jika jaraknya lebih jauh, penghuni setiap tempat akan memutuskan kasusnya secara terpisah,” tuturnya.
Baca juga: Tiga Tingkatan Puasa Menurut Al-Ghazali
Kedua, untuk melakukan niat berpuasa : Melakukan niat setiap malam dengan iman yang teguh adalah wajib. Satu niat untuk keseluruhan bulan Ramadhan, katanya, tidak cukup. “Jika tidak ada niat wajib berpuasa, itu akan dianggap sebagai puasa sunah. Jadi niat harus dilakukan setiap malam,” tambahnya.
Ketiga, tidak memasukkan apa pun dari luar ke dalam tubuh secara sengaja ketika berpuasa. Jika seseorang makan sesuatu, minum sesuatu, dan melakukan tindakan semacam itu, itu akan membatalkan puasa. Jika seseorang melakukan bekam, itu tidak akan merusak puasanya. Jika air masuk ke perut secara tidak sengaja, itu tidak akan merusak puasa.
Keempat, pantang melakukan hubungan seksual saat puasa. Jika karena kesalahan, seseorang yang berpuasa telah melakukan hubungan seksual, itu tidak akan merusak puasanya.
Kelima, pantang mengeluarkan air mani secara sengaja. Jika air mani sengaja dikeluarkan, itu akan membatalkan puasa.
Keenam, pantang muntah yang disengaja. Muntah yang disengaja membatalkan puasa.
Baca juga: Bahaya Kesombongan dan Nasehat Imam Al-Ghazali
Selain itu, Imam al-Ghazali, juga mengatakan bahwa ada 4 jenis pengganti yang wajib dilakukan jika seseorang membatalkan puasa, yaitu:
Pertama, mengganti puasa. Adalah wajib bagi setiap Muslim di manapun untuk tetap berpuasa pada hari-hari lain atas batalnya puasa di bulan Ramadan. Seorang wanita yang sedang menstruasi harus tetap berpuasa pada hari-hari lain. Orang tidak perlu meng-Qadhapuasa secara berturut-turut.
Kedua, kaffarahatau Penebusan tidak wajib kecuali dalam hal hubungan seksual. Apabila melakukannya, seseorang harus membebaskan seorang budak atau puasa selama dua bulan berturut-turut, dan apabila itu gagal, maka gantinya adalah memberi makan enam puluh orang miskin untuk satu kali makan.
Baca juga: Imam Al-Ghazali, Sang Pemintal Dirinya Sendiri
Ketiga, imsak atau menahan diri dari minum, makan, dan hubungan seksual. Jika seseorang membatalkan puasa secara sembarangan tanpa alasan, maka wajib baginya untuk tidak makan, minum, dan melakukan hubungan seksual untuk sisa hari itu.
Keempat, fidyah atau Penebusan: jika seorang wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa karena khawatir anaknya, wajib baginya untuk memberikan kompensasi dengan memberikan satu mud makanan (seukuran telapak tangan yang ditengadahkan ketika berdoa) kepada orang miskin, dan sebagai tambahan, dia juga tetap harus meng-Qadhapuasanya.
“Jika seorang lelaki lanjut usia tidak dapat berpuasa, dia dapat mengganti setiap puasanya dengan memberikan hasil panen sebanyak satu mud untuk setiap harinya,” demikian Al-Ghazali.
Baca juga: Makna Kesempurnaan Puasa Menurut Imam al-Ghazali
(mhy)