Published
1 tahun agoon
[ad_1]
Di kalangan masyarakat primitif, bentuk persembahan dilakukan dengan mengorbankan manusia. Para antropolog menunjukkan beberapa ritual yang mengorbankan manusia (human sacrified). Di Irak, di sekitar Qan’an terdapat upacara persembahan kepada Dewa Baal, dengan mengorbankan bayi. Upacara ini dilakukan untuk meredam kemarahan Dewa Baal. Menurut keyakinan mereka, jika Dewa Baal marah maka akan meminta pengorbanan banyak nyawa bayi. Daripada banyak nyawa bayi yang jadi korban karena kemarahan Dewa Baal, lebih baik mengorbankan satu bayi untuk meredam kemarahan sang Dewa.
Suku Astec di Meksiko yang memuja matahari. Untuk memohon perlindungan kepada Dewa Matahari, dilakukan ritual korban yang mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada dewa. Di Tenochtitlan yang berada di jantung ibukota Aztec, ada upacara persembahan yang disebut ritual Aztec. Suatu upacara meminta hujan kepada dewa hujan dan petir yang bernama Tlaloc. Ritual ini mengorbankan anak-anak sebagai tumbal untuk dipersembahkan kepada dewa Tlaloc yang haus darah anak.
Pada masyarakat Viking di Eropa Timur, persembahan dilakukan dengan mengorbankan tokoh agama. Korban dilakukan kepada dewa perang yang bernama Odion agar mendapat kemenangan dalam mempertahankan negeri. Masyarakat Mesir kuno mengorbanan gadis cantik yang dibuang ke sungai Nil sebagai persembahan terhadap Dewi Nil agar tidak murka. Karena kalau sang dewi murka akan dapat menyebabkan banjir dan bencana alam lainnya.
Bentuk korban manusia mengalami transformasi ketika masuk ajaran agama. Kehadiran agama tidak menghilangkan tradisi dan spirit berkorban, tetapi mengubah format ritual dan benda yang dikorbankan, manusia menjadi hewan, makanan dan berbagai buah-buahana serta hasil pertanian.
Untuk menjaga spirit berkorban dan meningkatkan kesadaran manusia agar berani berkorban, muncul beberapa narasi agama yang menjelaskan keutamaan manusia yang mau berkorban. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa naskah dan kitab suci agama. Misalanya, naskah Mahabarata yang mencerminkan ajaran Buddha. Dalam lakon Wahyu Darma, yang merupakan bagian dari naskah Mahabharata, disebutkan, ketika Yudistira sedang bertapa, didatangi seekor kijang yang meminta pertolongan karena akan dimangsa harimau. Kijang tersebut belum mau menjadi angsa harimau karena masih memiliki anak kecil yang memerlukan perlindungannya. Harimau yang hendak memangsa kijang datang menemui sang prabu Yudistira agar menyerahkan kijang untuk dimangsa. Sang Prabu tidak mau menyerahkan dan minta kepada harimau untuk mengurungkan niatnya memangsa kijang. Atas permintaan tersebut, harimau menjawab dia harus memangsa kijang demi kelangsungan hidup dirinya dan anak-anaknya yang kelaparan.
Melihat kondisi yang demikian, akhirnya Yudistira menawarkan dirinya untuk dimangsa harimau demi menyelamatkan kehidupan kijang dan harimau beserta anak-anaknya. Di sebutkan dalam lakon tersebut, setelah memangsa tubuh Yudistira, seketika sang harimau berubah wujud menjadi sosok Bethara Dharma. Tubuh Yudhistira yang luka berdarah darah karena dirobek-robek harimau kemudian diobati oleh Bethara Darmo sehingga pulih kembali. Sebagai apresiasi atas sikap Yudhistira yang rela berkorban untuk kehidupan, Bethara Darma memberi pusaka bernama Jamus Kalimasadha.
Kisah pengorbanan diri untuk menyelamatkan kehdupan ini juga terdapat dalam naskah Sotasoma karya mpu Tantular. Dikisahkan dalam perjalanan hidupnya Sotasoma melihat seekor harimau betina yang hendak memangsa anaknya karena kelaparan. Kemudan dia menyerahkan dirinya untuk dimakan harimau sebagai pengganti anak yang akan dimakan. Tapi setelah menerkam dan memangsa Sotasoma sang Harimau menyesal, sehingga datanglah Bathara Indra menghidupkan kembali Sotasoma dan harimau itu enjadi pengikut Sotasoma.
Menurut Eko Prasetyo dkk, narasi pengorbanan lakon Wahyu Darma yang ada dalam naskah Mahabharata ini mencerminkan spirit ajaran Buddha yang ada dalam penggalan syair Karaniya Metta Sutta yaitu memancarkan pikiran kasih sayang tanpa batas. Kasih sayang Yudhistira terhadap alam semesta dan isinya bagaikan kasih sayang seorang ibu pada anaknya yang rela mempertaruhkan jiwa dan raga. Kasih sayang yang tulus tanpa benci dan rasa permusuhan. Tindakan Yudhistira dalam lakon Wahyu Darma ini juga memiliki kemiripan tema dengan Vyāghrī-Jātakam yang reliefnya terpahat di candi Borobudur. Relief itu mmenggambarkan sifat Bodhsatya yang memiliki rasa belas kasih tanpa batas kepada samua makluk. (Eko Prasetyo dkk., 2022; 48).
Dalam ajaran Islam, tradisi kurban ada sejak Nabi Adam AS. Dikisahkan, kedua putra Nabi Adam, Qabil dan Habil diperintahkan berkurban dengan memberikan sesuatu yang terbaik dan paling dicintai. Sebagaimana disebut dalam al-Qur’an: “Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa. Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS Al-Maidah 5:27-28).
Beberapa abad kemudian, ritual kurban kembali diperintahkan Allah melalui Nabi Ibrahim. Perintah kurban kali ini tetap menuntut sesuatu yang paling cintai untuk dikorbankan yaitu putra terkasih. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an: Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?. Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (Q.S. As-Saffat: 102). Kisah Nabi Ibrahim inilah yang kemudian menjadi ritual kurban yang dijalankan umat Islam sampai saat ini.
Dalam konteks masyarakat Islam Nusantara, ritual kurban yang bersasal dari dorongan spiritual dan ajaran agama, akhirnya melahirkan berbagai bentuk tradisi yang menyertai pelaksanaan kurban Idul Adha. Beberapa tradisi tersebut diantaranya: tradisi Meugang di Aceh, Apitan di Semarag, Gamelan Sekaten di Surakarta, Grebeg Gunungan di Yogyakarta, Manten Sepu di Pasuruan, Toron dan Nyalasi di Madura, Ngejot di Bali, Accera Kolompoang di Gowa, Kaul Negeri dan Abda’u di Maluku Tengah dan berbagai tradisi lain yang ada di Nusantara.
Dapat dikatakan, tradisi yang dilakukan oleh umat Islam Nusantara dalam merayakan kurban du adha ini merupakan bentuk akulturasi budaya yang berfungsi untuk mengaktualisasikan nilai-ilai dan ajaran Islam. Adanya berbagai bentuk tradisi ini membuktikan bahwa kurban tidak hanya cermin perilaku keagamaan (ritual agama) dan instrumen menjalin kekerabatan dan kebersamaan sosial, sebagamana yang disebutkan Lifford Geerz (1993), tetapi juga merupakan bentuk transformasi budaya.
Beberapa data ini menunjukkan beberapa hal terkait transformasi budaya dalam ritual kurban. Pertama, transformaasi terjadi pada bentuk-bentuk ritual dan benda persembahan. Terjadi transformasi dari bentuk kurban manusia menjadi kurban hewan, makanan dan buah-buahan sebagaimana tercermin dalam berbagai upacara adat dan ritual keagamaan. Kedua adanya aspek spiritual sebagai faktor penggerak ritual kurban. Apapun bentuk, format dan jenis barang yang dikorbankan semuanye merupakan ekspresi dari spririt religiusitas. Ketiga, agama menjadi faktor penting terjadinya transformasi rtual kurban. Melalui ajaran agama, bentuk-bentuk korban yang tidak manusiawi diatur agar lebih beradab dan manusiawi.
Kalau dicermati secara mendalam akan terlihat, terjadinya transformasi ritual kurban sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin sempurna suatu sistem keyakinan dan semakin beradab suatu masyarakat maka pelaksanaan ritual kurban akan semakin beradab dan manusiawi.****
[ad_2]
Sumber Berita alif.id
#Transformasi #Ritual #Kurban #Sejarah #dan #Tradisi