Sosoro sebagai nilai universal keramahan masyarakat Baduy menerima tamu dari mana saja walaupun yang bukan satu kampung sekalipun yang layak dipromosikan untuk membentuk profil pelajar Pancasila dalam pendidikan karakter nasional.
Sosoro sebagai salah satu nama ruangan pada rumah masyarakat Baduy yang berkonsep pro-lingkungan hijau (ecohouse) digunakan untuk aktifitas menerima tamu, bersantai, dan menenun kain bagi kaum perempuannya. Ruangan yang berada di bagian depan memiliki ukuran dimensinya paling besar dua kali ruangan lainnya seperti imah dan tepas.
Imah dan tepas adalah ruangan privat dan semi-privat untuk keluarga. Satu lagi, glodog merupakan serambi luar dan jalan masuk ke rumah dan berfungsi sebagai peralihan dari luar ke dalam rumah.
Sosoro sebagai nilai kultur kekayaan bangsa Indonesia tentu saja tidak banyak yang mengetahui makna filosofisnya. Padahal, sosoro memiliki nilai pendidikan karakter yang unggul dipromosikan bagi masyarakat khususnya bagi peserta didik di samping mengenalkan budaya suku Baduy.
Penanaman pegetahuan, sikap, dan cinta budaya sebagai cerminan salah satu nilai profil pelajar Pancasila, berbhinekaan global dengan mengenal dan menghargai budaya. Makna sosoro yang bersikap terbuka kepada siapa saja yang bertamu ke dalam lingkungan rumah dan masyarakat secara lebih luas dalam rangka mempertahankan budaya luhur merupakan perwujudan nilai gotong royong pelajar Pancasila. Elemen gotong royong dikonkritkan dengan perilaku saling berbagi atau memberi dan menerima segala hal yang penting bagi kehidupan pribadi dan bersama.
Keberhasilan penanaman nilai atau budaya sosoro akan menjadi pembudayaan peserta didik dan diharapkan mampu beradaptasi dan menangkal budaya global lain khususnya budaya barat yang bersifat individualis pragmatis.
Memang bangsa yang memiliki budaya unggul tidak serta merta menjadi keunggulan bagi masyarakat dan bangsanya. Masih memerlukan faktor lainnya yaitu dukungan semua pihak untuk merelasisasikan bagi berkembang dan bekerjanya budaya baik tersebut karena budaya hanya sebagai konsekuensi saja.
Hal ini seperti dijelaskan dalam tulsian Acemoglu dan Robinson (2012) “Why nation fail: The origins of power, prosperity, and poverty.” Walaupun pembahasannya dalam konteks negara lain yang jauh di benua Amerika, tetapi ini bisa menjadi bahan refleksi pembelajaran. Ada daerah di dua negara yang berbeda Nogales Sorona (Meksiko) dan Nogales Arizona (AS) yang memiliki budaya dan letak geografis yang sama. Tetapi, Nogales Arizona lebih makmur dibandingkan Nogales Sorona yang kurang memberikan penghargaan pada sistem kinerja berbasis prestasi. Oleh karenanya, nilai atau budaya bukanlah penyebab perbedaan kemakmuran, melainkan konsekuensi atau akibat.
Kembali ke pemaknaan sosoro dalam pendidikan karakter untuk membentuk profil pelajar Pancasila, tentunya nilai kultur yang dikembangkan dari masyarakat adat suku Baduy akan memiliki dampak positif untuk menciptakan keharmosisan sosial masyarakat, negara, dan bangsa.
Tetapi ini masih memerlukan faktor lain berupa dukungan dari semua pihak, institusi, kelompok, dan individu agar perkembangan nilai ini berada dalam kondisi yang selalu terimplemenplementasikan dengan baik pula.
Mari kita dukung implementasinya khususnya dalam skala mikro pembelajaran pendidikan karakter di dalam kelas bagi peserta didik berbasis pada keunggulan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Wallahua’lam.