Rasa kemanusiaan sudah hilang. Serangan Israel yang membabi buta meluluhlantakkan permukaan tanah Gaza. Kita melihat hujan peluru sudah biasa di sana. Kita melihat rumah-rumah menjadi hamparan debu. Bahkan kita juga menyaksikan bom demi bom meratakan tanah di sana.
Ribuan nyawa tak berdosa tewas dimana-mana. Kita juga melihat rintihan anak kecil yang kehilangan ibunya. Atau seorang ibu dengan tubuh terluka mencoba bangkit mencari anaknya. Kita bisa melihat bagaimana kebiadaban tentara Israel menembaki wanita hingga anak-anak yang sedang mengantri di sebuah toko roti. Atau Bahkan Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebut Gaza sudah berubah jadi kuburan anak-anak. “Yaa Alam.. Ardhi Mahroo’a” nyanyian itu betul-betul terdengar dari sana.
Apa yang sebenarnya yang terjadi antara Israel dan Palestina? Apa yang menyebabkan Israel begitu kejam dan biadab?, mungkinkah ini sebuah konflik agama? Tidak, ini bukan soal agama. Agama mana pun mengutuk ketidakadilan dan kezaliman.
“We must all fight together for a free palestine!” Seruan seorang pendeta Yahudi, Rabbi Yisroel Dovid Weiss beberapa waktu lalu. Rabbi menyadari bahwa kebijakan Israel yang mengklaim sepihak kawasan Palestina dengan dalih ayat-ayat Taurat sesungguhnya hanyalah tameng belaka atas kekejaman mereka. Menjadikan agama untuk membenarkan kejahatan adalah penodaan atas esensi agama itu sendiri. Bahkan, argumen Israel “self defense”, pertahanan diri, seolah-olah rakyat Israel Palestina yang hidup sengsara tidak memiliki hak mempertahankan diri juga.
Sekali lagi, ini bukan soal agama. Sebelum adanya gerakan zionisme, kaum Yahudi dan Muslim di Palestina hidup dengan damai. Tak hanya relasi Yahudi-Musim saja, tetapi juga dengan kelompok umat beragama lainnya. Semuanya hidup damai berdampingan di sana sampai kemudian gerakan zionisme mengubah segalanya.
Berawal pada penghujung abad ke-19 ketika gerakan Zionisme, yang berusaha membangun Negara Yahudi, mulai mendapatkan momentum. Pamphlet The Jewish State yang ditulis Theodor Herzl (1860-1904), seorang Yahudi Austria-Hungaria, sering dilihat sebagai dokumen dasar Zionisme politik modern. Tujuan gerakan ini adalah untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, yang pada saat itu merupakan bagian dari kekaisaran Ottoman. Diskriminasi yang dialami kaum Yahudi di berbagai negara Eropa pada abad ke-19 menjadi pemicu munculnya gerakan ini.
Pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris kala itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, tokoh utama dalam komunitas Yahudi Inggris. Surat itu mengamanatkan pemerintah Inggris untuk mendirikan rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina. Pada tahun itu juga, pemerintah Inggris, pasca perang Dunia I, mendeklarasikan adanya rumah nasional bagi orang Yahudi di Palestina. Deklarasi tersebut selanjutnya dikenal sebagai Deklarasi Balfour.
Mandat Inggris itu dilaksanakan dari tahun 1923 sampai 1948. Pada periode itu, Inggris memfasilitasi imigrasi Yahudi massal, terutama penduduk Yahudi yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa. Kebijakan Inggris itu ternyata tidak meminta persetujuan dari otoritas Palestina.
Kebijakan yang sepihak itu membuat tensi sosial warga Palestina meningkat. Pengambilan paksa tanah warga Palestina oleh Pemerintah Inggris, yang secara sewenang-wenang diserahkan kepada para pemukim Yahudi, membuat konflik yang terjadi semakin memburuk. Imigrasi Yahudi ke Palestina semakin meningkat. Ketegangan pun semakin meningkat saat komunitas warga Palestina dan Yahudi mulai bersaing untuk menguasai tanah Palestina. Perebutan wilayah dan identitas antara Yahudi dan warga Palestina ini menjadi peletak dasar terjadinya konflik berkepanjangan dan berdarah sampai sekarang.
Pada tahun 1947 Negara Israel resmi didirikan saat PBB mengeluarkan keputusan untuk menjadikan tanah Palestina menjadi dua negara, Yahudi dan Palestina. Kehadiran negara Israel membuat sekitar 800 ribuan orang Palestina terusir dari tanah mereka, dan 550-an kota dan desa disapu habis untuk memberikan lahan bagi negara Israel. Ketidakadilan dan penjajahan atas tanah Palestina terus berlangsung hingga sekarang.
Fakta sejarah mengatakan bahwa konflik Israel dan Palestina sesungguhnya bukanlah konflik agama, melainkan kolonialisme dan kebencian terhadap kelompok minoritas. Yahudi sebagai agama yang dianut oleh Israel bukanlah sebuah persoalan. Kekejaman politik lah yang menjadi akar persoalan. Israel harus dikecam atas perbuatannya sebagai entitas politik. Sekali lagi, agama hanya dijadikan tameng belaka. Simpati kepada rakyat Palestina tidak hanya berdasar sesama agama islam. Lebih dari itu, ini soal kemanusiaan dan keadilan.
Baca Juga