Published
1 tahun agoon
[ad_1]
Pada mulanya haji memang sebagai kewajiban rukun Islam yang harus ditunaikan. Tentu saja masyarakat Islam di Nusantara sudah memahami bahwa haji merupakan bagian dari syariat agama yang menuntut pengorbanan besar. Hal itu karena perjalanan haji bukan hanya membutuhkan dana yang tidak sedikit namun juga waktu yang lama berbulan-bulan dan proses perjalanan yang berat serta beresiko. Banyak diantaranya kehilangan harta benda karena dirampok atau bahkan meninggal, mengingat perjalanan naik kapal laut begitu jauh dan peralatan masih sangat sederhana.
Sudah mafhum juga diketahui banyak ulama di Nusantara yang menjadi pengajar di Makkah. Semua tokoh yang mencari ilmu di Makkah dan Madinah, yang artinya juga melaksanakan ibadah haji, hampir selalu mengajar sekembalinya mereka dari berhaji. Ulama seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib Minangkabawi mengajar di Makkah pada kisaran akhir abad ke-19. Dimana mereka banyak mendidik sekaligus mengkader para haji yang dikemudian sebagiannya menjadi ulama-ulama besar sekembalinya ke tanah air.
Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 menjadikan perjalanan haji dari nusantara ke Makkah lebih mudah. Dampaknya semakin hari jumlah jamaah haji di pemerintahan Hindia-Belanda makin meningkat. Banyak orang Indonesia yang melaksanakan haji tidak langsung kembali namun menetap disana hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun guna mendalami ilmu agama. Bahkan orang-orang Banten membentuk kelompok madrasah sendiri di Meakkah. Bisa dikatakan selalu terjadi selisih jumlah haji antara yang pulang dan yang berangkat. Hal itu bukan karena banyaknya yang haji yang meninggal melainkan karena banyaknya jamaah haji yang menetap di Makkah hingga berbulan-bulan bahkan sampai tahunan.
Snouck yang mencoba mendokumentasikan tentang aktivitas “Jawa Mukim” (karena didominasi oleh orang Jawa) tersebut tidak mencatat jumlah mereka secara detail, yang pasti bahwa banyak diantara haji yang memilih menetap. Mereka bahkan sudah berangkat beberapa bulan sebelum Ramadhan karena ingin merasakan puasa dan shalat tarawih di Makkah. Rata-rata mereka akan pulang sekitar 4-5 bulan selepas bulan haji. Alasan yang paling dominan adalah ilmu agama dimana Makkah menjadi legitimasi intelektual keislaman dan keulamaan seseorang yang nantinya akan menjadi kiai atau tokoh di desa.
Perlu diketahui bahwa haji juga menjadi gerakan sosial-politik pemersatu nusantara. Bahasa Melayu di Makkah kala itu bahkan sudah menjadi bahasa yang umum yang digunakan sebagai bahasa persatuan Nusantara. Dalam bahasa Bruinessen, haji menjadi saluran komunikasi dan informasi yang penting (Bruinessen, 1995). Makkah, selain sebagai kiblat ibadah juga bagi umat muslim juga sebagai jendela melihat dunia luar dan sumber pemurnian sekaligus pembaruan agama. Para jamaah haji Indonesia bertemu dan melakukan interaksi dengan seluruh umat muslim dari berbagai belahan dunia.
Bruinessen menyebut, dari proses interaksi tersebut terjadilah penyebaran informasi yang cukup intens perihal perkembangan sosial-politik yang terjadi di negara-negara muslim. Tidak heran perkembangan tersebut juga mempengaruhi alam pikir dan iklim masyarakat muslim di Indonesia yang semakin menyadarkan mereka akan kolonialisme yang terjadi di tanah air. Haji sebagai persatuan nusantara dan pemantik antikolonialisme (Bruinessen, 1995).
Snouck yang pernah ditugaskan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Abdul Ghafar di Makkah menghasilkan banyak informasi, dimana sebagiannya meluruskan kesalahpahaman pemerintahan kolonial. Baginya pemerintah kolonial tidak seharusnya melarang atau memberlakukan persyaratan ketat, seperti pelarangan gelar haji dan pakaian khas Arab bagi yang sudah berhaji pada tahun 1895. Memang pada praktiknya orang sudah berhaji dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang istimewa dan suci, serta tidak jarang juga mereka dipandang memiliki kekuatan magis. Atribut yang demikian membuat para haji yang kembali ke tanah air mempunyai kemuliaan nasehat termasuk dalam membangun kekuatan gerakan politik, terutama bagi para ulama, kiai atau pengajar agama di desa. Setiap petuah mereka menjadi ancaman yang potensial bagi status quo Hindia-Belanda.
Baik itu pemerintah kolonial Inggris maupun Belanda sama-sama tidak menyukai perihal orang yang sudah berhaji. Potensi kesetiaan terhadap pemerintah kolonial akan luntur jika posisi penting di kerajaan maupun pemerintah diisi oleh orang yang sudah berhaji. K.F Holle masa itu menyarankan pemerintah untuk tidak mengangkat orang yang sudah berhaji sebagai pegawai dan penghulu. Holle yang pernah bertugas di wilayah Bogor dan Garut tahun 1856 M meyakini pengaruh Islam sebagai ancaman eksistensi pemerintahan, terlebih yang sudah “terkontaminasi” dengan ibadah haji.
Holle bersama Moesa salah seorang Kepala Penghulu di Garut dan cukup akrab dengannya pernah meniliti, sejauh mana pengaruh pan-Islamisme terhadap gerakan anti Belanda di Aceh. Ia lalu menyimpulkan bahwa mereka yang sudah berhaji merupakan propagandis berbahaya bagi fanatisme keislaman di masyarakat kala itu. Para haji bertanggung jawab atas merebaknya fanatisme Islam yang tidak jarang berujung pemberontakan politik (Jajat Burhanudin, 2017).
Raffles pernah memperingatkan dalam tulisannya–saat Indonesia masih di bawah kekuasaan pemerintahan Inggris– tahun 1811 M, bahwa para gubernur harus hati-hati terhadap “pastor pribumi” (sebutan Reffles untuk para haji). Mereka, para haji dianggap sering memimpin pemberontakan terhadap orang Eropa. Seorang pegawai Reffles mengatakan bahwa seorang bupati yang telah meninggal, dua dari sejumlah anaknya sangat tidak layak menggantikannya hanya karena yang satu sudah berhaji dan satunya sedang melakukan ibadah berhaji.(Steenbrink, 1984).
Van Deventer yang membawahi wilayah Bogor tahun 1858 M sempat mengeluh bahwa setiap tahun jamaah haji dari daerahnya terus saja meningkat. Kondisi tersebut sempat memicu kebijakan pemerintah Hindia-Belanda untuk mempersulit izin ibadah haji dengan biaya yang jauh lebih mahal. Namun apa boleh kata yang terjadi malah sebaliknya, jamaah haji tetap saja terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga peraturan tersebut akhirnya dihapus.
Banyak orang Indonesia yang belajar di Madrasah Shaulatiyah yang didirikan oleh orang India di Makkah pada tahun 1874. Pada saat itu diketahui bahwa masyarakat India juga tengah berjuang dan bergolak dengan sikap antikolonialisme Inggris di negaranya (Bruinessen, 1995). Makkah, meski dikenal sebagai tempat thalabul ‘ilm paling otoritatif, bagi domain kerajaan yang lebih menonjol malah keyakinan sebagai pusat legitimasi politik. Sehingga tidak jarang para raja sering mengangkat para ulama yang sudah berhaji dan belajar disana, sebagai penasehat atau mitra setianya di dalam kerajaan.
Al-Mawahib sebuah kitab yang ditulis oleh ulama Makkah atas permintaan penguasa Kerajaan Banten Sultan Abu al-Mafakhir (berkuasa 1626-1651 M) menjadi bukti bahwa Makkah merupakan bagian dari sumber legitimasi politik raja-raja Jawa. Kitab yang ditulis pada kisaran abad 17 M lebih tepatnya berisi tentang fatwa-fatwa terkait politik Islam (Jajat Burhanudin, 2017).
Memahami haji masa lampau ternyata tidak sesederhana sabagaimana saat ini. Haji memiliki fungsi yang sedemikian penting, bukan hanya dari sisi otoritas keilmuan bagi para calon ulama maupun pengajar tapi juga dari sisi sosio-politik. Perjalanan haji menggunggah rasa persatuan di Nusantara sekaligus pemantik antikolonialisme.
Komunitas Jawa di Makkah menjadi penghubung dengan komunitas dunia muslim lainnya dalam informasi gerakan sosial dan politik yang tengah terjadi. Kesadaran demikian menjadi embrio kekuataan politik dan perlawanan bagi semua alumni haji di Makkah yang terus diwaspadai pemerintah kolonialisme. Di mata pemerintah kolonial maupun raja-raja Nusantara, perjalanan haji menyimpan dimensi ganda, bukan hanya spiritualisme tapi juga episentrum munculnya kekuatan politik.
[ad_2]
Sumber Berita alif.id
#Sejarah #Haji #Masa #Kolonial #Antara #Spiritualisme #dan #Gerakan #Politik