News
Penjalin Rotan Kiai Imam Sarang Lumpuhkan Pemberontakan PKI
Published
3 tahun agoon
[ad_1]
Setiap tanggal 30 September masyarakat Indonesia teringat dengan peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, dimana saat itu terjadi pembantaian yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka bahkan tak segan-segan membantai para kiai dan santri. Meletusnya peristiwa G30S/PKI merupakan usaha makar untuk mewujudkan Negara Komunis Indonesia. Ingin mengganti ideologi Pancasila.
Setelah tragedi pemberontakan 1948, PKI kembali melancarkan aksinya pada 1965. Saat itu, para ulama khususnya dari kalangan NU mempunyai peran penting menumpas gerakan 30 September itu. Salah satunya adalah Kiai Imam Khalil yang akrab disapa Kyai Imam Sarang, terkenal dengan karomah penjalinnya.
Diceritakan dalam buku Manaqib KH Imam Khalil Kyai Sufi Membumi, disusun oleh PP MIS Sarang. Pemimpin Redaksi Agus Maisur Kholid SC, editor M.Ali Rofiq, penasihat KH.Abdul Rozaq Imam, kata engantar pengasuh, KH M Roghib Mabrur.
Sebelum meletusnya peristiwa G/30S/PKI, selama tiga hari berturut-turut di Pesantren Sarang Kabupaten Rembang-Jateng, Kiai Imam Khalil selalu mengumandangkan adzan subuh. Hal itu membuat gempar orang-orang yang mendengarnya. Sebab, ketika adzan subuh terdengar suara Kiai Imam Khalil pasti akan terjadi sesuatu yang mengerikan, entah bencana, musibah, atau hal-hal yang lain. Pada waktu itu ada salah satu santri yang pulang ke rumahnya. Ia lalu menanyakan perihal adzan Subuh kiainya di pesantren kepada sang ayah,
“Pak ape ono opo iki kok Mbah Imam adzan subuh mben isuk sampek tigang dinten?” (Pak mau ada apa ini? Kok Kiai Imam adzan subuh tiap pagi hari sampai tiga hari)
“Iki ape ono parigawe cong” (Ini mau ada peristiwa besar nak) jawab wali santri tersebut.
Dan dalam waktu kurang dari sebulan datanglah PKI ke wilayah Sarang. Satu minggu sebelum kejadian itu, tepat pada hari jumat, Kiai Imam Khalil memesan bambu runcing dalam jumlah besar. Bambu-bambu tersebut lalu diserahkan Kiai Imam Khalil kepada santri-santrinya. Dengan memberanikan diri, ada salah seorang santri menanyakan perihal bambu tersebut,
”Niki kangge nopo mbah (ini untuk apa Mbah?). Kiai Imam Khalil lantas menjawab, “Iki kanggo jogo-jogo (ini untuk jaga-jaga).”
Setelah tersebar kabar pemberontakan PKI, barulah diketahui maksud Kiai Imam Khalil membagikan bambu-bambu tersebut. Masyarakat, kemudian banyak yang sowan untuk meminta bambu kepada Kiai Imam Khalil. Namun, ternyata bambu-bambu itu tidak cukup dan sudah habis dibagi-bagikan. Akhirnya, Kiai Imam Khalil memanggil semua pengurus pondok. Beliau mengutus mereka untuk mencari sodo aren (lidi pohon aren) sebagai ganti bambu-bambu yang telah habis. Setelah mencari kesana-kemari hingga ke selatan Kota Tuban, para pengurus yang mendapatkan mandat tugas dari Kiai Imam Khalil tak kunjung mendapatkan sodo aren yang dimaksud. Mereka hanya mendapatkan penjalin (rotan) di jalanan yang mereka lalui. Kiai Imam Khalil pun lantas berkata,
“Yowis penjalin wae” (Ya sudah pakai rotan saja)
Akhirnya Kiai Imam Khalil membeli rotan dalam jumlah sangat besar untuk dibagi-bagikan kepada para santri dan masyarakat sekitar yang meminta. (H Mahfudz Kragan, Halaman 129). Beliau kemudian membuat celupan rotan di kulah (kolam) pondok lor agar rotan yang dicelupkan memiliki khasiat yang mampu mengusir para pemberontak PKI. Bibir Kiai Imam Khalil nampak bergerak-gerak pertanda beliau sedang membaca wirid atau doa khusus. Tak butuh waktu lama, beliau kemudian meludah di air kulah pondok. Seketika itu beliau berseru memberikan perintah kepada santrinya yang bernama Hamzawi,
“Ayo penjaline jukuki, PKI arep berontak (ayo ambil rotannya, karena PKI mau memberontak).”
“Celupno jeding, celupno jeding(celupkan ke kulah celupkan ke kulah),” seru Kiai Imam Khalil dengan tegas.
Mendengar perintah sang kiai, para santri pun berbondong-bondong mencelupkan rotannya ke dalam kulah pondok yang telah di-asma’i oleh beliau. Semula celup penjalin ini dikhususkan untuk santri-santri Pesantren Sarang saja, namun karena kabar celup penjalin itu menyebar, akhirnya masyarakat Sarang dan sekitarnya datang berduyun-duyun untuk ikut mencelupkan rotan mereka ke dalam kulah pondok. (K. Dahlan, 129). Rotan yang telah dicelupkan ini memang terkenal memiliki kekuatan atau kejadukan yang dahsyat. Bagaimana tidak?! Hanya dengan satu sabetan rotan saja, musuh langsung terkapar seketika.
Selain penjalin, mereka juga mencelupkan berbagai barang seperti baju agar kebal, kayu, dll. Namun Kiai Imam Kholil melarang mereka untuk mencelupkan sajam dan benda-benda tajam lainnya. Beliau juga memberikan amalan khusus bagi mereka yang memberikan sowan ke ndalem Kiai Imam Kholil. Beliau memberikan instruksi kepada orang-orang yang sedang mencelupkan penjalin mereka: “podo simpen kalimah singlin!” (Simpanlah penjalin ini yang diibaratkan seperti kalimat tahlil). Penjalin yang dicelupkan ke kulah pondok memiliki keistimewaan, banyak para pemberontak yang lumpuh seketika tatkala dipecut dengan penjalin tersebut, padahal diantara para pemberontak itu kuat-kuat, banyak yang memiliki ilmu kejadukan dan terkenal sakti.
Tepat 30 September, PKI bergerilya menyerang wilayah Sarang. Akan tetapi, anehnya mereka tidak mampu menembus area Pesantren Sarang, sehingga penyerangan hanya terjadi di desa-desa terpencil selatan pesantren. Berkah Kiai Imam Khalil yang membuat celupan penjalin sakti mandraguna, Allah SWT menyelamatkan masyarakat Sarang dari kezoliman PKI. Mereka dapat dengan mudah dilumpuhkan hanya dengan satu sabetan rotan saja.
Kabar celup penjalin yang memiliki kesaktian luar biasa ini kian hari kian santer tersebar di desa-desa bahkan sampai ke kota-kota besar. Sebab minimnya senjata atau alat pertahanan yang dimiliki masyarakat untuk menumpas pemberontakan PKI yang tersebar di berbagai penjuru membuat mereka kebingungan. Adanya kabar celup penjalin di Sarang oleh seorang kiai kharismatik bagaikan angin segar bagi mereka. Alhasil banyak masyarakat dari berbagai penjuru datang bersama-sama menuju Pesantren Sarang guna memiliki rotan sakti yang bisa mereka jadikan alat pertahanan diri dari serangan PKI yang kadang datang secara tiba-tiba. Mereka datang dari kota-kota besar seperti dari Magelang, Temanggung, Semarang, Kendal, Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Kudus, Pati, Jepara Purwodadi, Demak, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Kediri, Lasem, Rembang dan kota-kota lain di sekitar Jawa Tengah- Jawa Timur. Kedatangan mereka membuat jalan menuju Pesantren Sarang dipenuhi kendaraan. Dari mulai motor, mobil, bus, bahkan truk terparkir berjejer-jejer di sepanjang jalan.
Keadaan yang demikian dapat mendongkrak perekonomian masyarakat Sarang. Banyak dari mereka memanfaatkan momen tersebut dengan berjualan rotan di depan pondok lor. Sebab, orang-orang yang datang ke Sarang belum memiliki rotan sama sekali, mereka datang dengan tangan kosong, sehingga hal itu memaksa mereka untuk membeli rotan dari masyarakat Sarang.
Sebelum pencelupan rotan itu dilaksanakan, biasanya ada sambutan perwakilan pondok yang disampaikan oleh salah satu santri senior dimana diantaranya adalah Kang Ahmadi. Ia memberi sambutan terlalu panjang kala itu sehingga membuat orang-orang yang tengah memadati area pondok menunggu lama. Saat Kang Ahmadi Sarang Meduro masih menyampaikan sambutannya, Kiai Imam Khalil tiba-tiba datang lalu memberi teguran padanya,
“Ojok dowo-dowo, ojok dowo-dowo, mundaki pedot” (Jangan panjang-panjang (sambutannya), jangan panjang-panjang nanti putus).
Dalam tegurannya, Kiai Imam Khalil memberikan nasehat bahwa jangan sampai membuat orang-orang yang datang berkumpul di area pondok menunggu lama, sebab hal itu malah menambah masyaqqoh (kepayahan) di atas masyaqqoh yang lain, lebih-lebih mereka yang datang dari jauh.
Celup penjalin yang disediakan Kiai Imam Khalil tidak bermahar alias gratis. Beliau tidak berkenan menerima mahar dari celup penjalinnya apalagi meminta. Sehingga banyak dari mereka yang meninggalkan uang sebagai mahar, sampai-sampai banyak uang berceceran di sekitar tempat kulah celupan tersebut.
Kiai Imam Khalil berpendapat bahwa rotan-rotan yang dicelupkan ini bukanlah alat untuk membunuh. Akan tetapi, untuk berjaga-jaga apabila ada musuh yang menyerang secara tiba-tiba sebagaimana di atas. Daf’ussho’il atau menahan serangan penyamun hukumnya boleh meski sampai membunuhnya. Pendapat ini nampaknya mengecualikan ketika orang-orang PKI mengancam dan menyerang nyawa orang lain terlebih dahulu, sehingga ia bisa dihukumi as-shoil atau penyamun yang bisa diserang balik meski dapat membunuh nyawanya.
Tentu hal tersebut harus urut dari tahap melarikan diri sampai membunuh. Dan hal itu menjadi bukti bahwa syariat mengutus umat manusia untuk menjaga diri seperti yang diajarkan Kiai Imam Khalil.
Ibu Lasmini, Karangmangu menceritakan :Orang-orang anggota PKI yang ditaklukkan kemudian dikumpulkan di sebuah tempat yang sekarang menjadi MPG (Madrasah Putri Ghozaliyyah). Mereka direhabilitasi di sana. Para kiai dan tokoh masyarakat mendidik orang-orang PKI agar segera bertaubat dan kembali kepada Allah. Mereka disana diperlakukan dengan baik, diberi makan, dan minum serta dididik dengan benar sampai benar-benar sadar dan bertaubat. Sebagaimana pendekatan Kiai Ahmad Syuaib. (Halaman 129). Sebab tidak sedikit dari mereka yang masih menunaikan salat dan membaca syahadat. Mereka hanya terprovokasi oleh ajakan pimpinan mereka yang menjanjikan harta duniawi secara merata dengan cara membabi buta dan instan kepada mereka.
Siapa sosok Kiai Imam Sarang?
Kiai Imam Khalil adalah putra keempat dari pasangan Kiai Syu’aib bin Abdurrazaq dan Nyai Sa’idah binti Ghazali. Beliau dilahirkan pada tahun 1317 H yang bertepatan dengan tahun 1900 M. Menurut KH.Tahrir, dilahirkan di Desa Karangmangu Kecamatan Sarang.
Gus Imam memulai pendidikan agama dibawah bimbingan orang tuanya dan para ulama di Sarang kala itu. Gus Imam kemudian melanjutkan berguru kepada Syaikhu Masyayikhi Jawa Wa Madura (Gurunya para kiai di Jawa dan Madura) Hadrotussyaikh Khalil bin Abdul Lathif al-Bangkalani. Karena perintah dari sang guru untuk boyong, akhirnya Gus Imam yang masih muda itu hanya nyantri di Madura selama setahun. Sebagaimana diceritakan Agus Rosyad Kamal (Halaman 67).
Ia pulang dan melanjutkan studinya lagi di tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW selama delapan musim haji. Diantara gurunya di Mekkah adalah Syaikh Baqir al-Jukjawi.
Al-‘Arif Billah KH Imam Kholil bin Syu’aib Sarang wafat tanggal 9 Zulhijah tahun 1401 H / 1985 M, menjadi hari berduka bagi semua orang terlebih segenap keluarga Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ilmi asy-Syar’ie. Kiai Imam Khalil, figur kiai kharismatik yang menjadi pengayom dan panutan telah menghadap ke haribaan Allah SWT, di usia 85 tahun. Dimakamkan di Maqbaroh Stumbun, Sarang
Sebelum pemberangkatan jenazah Kiai Imam Khalil, Kiai Maimoen Zubair memberikan sambutan terlebih dahulu sebagai perwakilan Masyayikh Sarang. Belum sempat sepatah kata terucapkan, Kiai Maimoen sudah berlinangan air mata, sampai beliau tak mampu menahan tangis. Sambil terisak-isak, beliau memberikan sambutan dan meminta persaksian hadirin atas kebaikan sosok Kiai Imam Khalil yang tidak lain adalah adik kandung kakek beliau. Isak tangis pelayat pun tak terbendung silih berganti terkenang sang kiai yang mereka cintai (Halaman 124).
KH Rosikh Roghib mengenangnya sebagai pribadi yang teramat zuhud (Halaman 64) dan ahli sedekah (Halaman 113). Di antara wirid beliau sehari-hari adalah membaca Sholawat Jibril yaitu Shallallahu ala Muhammad, dibaca secara pelan/sirri (KH Masykuri Bonang Demak, 145). Di antara kelebihan atau karomah beliau adalah menemukan/berbicara dengan makam wali (KH Tahrir, 162).
Semoga Allah SWT menempatkan beliau di tempat yang istimewa di sisi-Nya. Amiin. Lahul Fatihah…
Abdullah Hamid, pemerhati sejarah Lasem, pustakawan
[ad_2]
Sumber Berita