Jakarta, NU Online
Bagi warga NU, nama KH Abdul Muchith Muzadi tak asing. Ia dikenal sebagai pengawal Khittah NU setelah ditetapkan pada Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo. Saat itu, kakak kandung Ketua Umum PBNU 1999-2009 KH Hasyim Muzadi itu, menjadi sekretaris pribadi Rais ‘Aam PBNU KH Achmad Shiddiq (1984-1991).
Kiai Muchith Muzadi merupakan sesepuh Nahdliyyin yang wafat pada 6 September 2015 silam. Pemikirannya banyak melahirkan pergerakan, perubahan di tubuh NU terutama dalam hubungan NU dengan kaum nahdliyin dan kenegaraan.
Demikian itu disampaikan Nasirudin Latif asal Lampung saat membacakan biografi Kiai Muchith Muzadi dalam acara Tahlil dan Doa Memperingati Haul Masyayikh NU yang digelar secara virtual, Kamis (30/9) malam.
Diungkapkan, saat Kiai Muchith menjadi Rais Aam Syuriyah PBNU, ia telah membuat rumusan konseptual mengenai Aswaja (Ahlussunah wal Jamaah), menuntaskan hubungan Islam dengan negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam serta strategi pengembangan masyarakat NU.
Salah satu rumusannya tentang NU kembali ke khittah. Menurutnya, keterlibatan Kiai Muchith dalam perumusan konsep ini sangat besar sehingga ia diangkat oleh Kiai Achmad Shidiq Jember sebagai sekretaris sekaligus penasehat pribadinya.
“Beliau menulis dan menyusun dengan rapi seluruh konsep Kiai Achmad Shidiq dengan usaha keras selama dua bulan penuh dan rumusan fenomenal itu menjadi Khittah Nahdliyah. Tidak hanya itu, Kiai Muchith juga terlibat dalam penerimaan pancasila sebagai asas tunggal negara,” paparnya.
Dikisahkan, saat itu perjalanan Kiai Achmad Shidiq membutuhkan pemikiran kreatif dan tepat sasaran terutama dalam mengimbangi pemikiran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai ketua umum PBNU kala itu.
Banyak pemikiran Gus Dur yang nyleneh atau sulit dinalar akal sehat namun ketika dipikir mendalam ternyata memiliki arti sangat besar. Sehingga, kata dia, Kiai Achmad Shidiq dibantu kiai Muchit berkolaborasi mewarnai gagasan pembaruan itu dengan solusi dan jalan keluar yang mudah dipahami.
“Hingga kurun waktu relatif singkat, NU menjadi organisasi yang maju dan berperan besar di bidang keagamaan, kemsyarakatan termasuk kenegaraan,” imbuhnya.
Terkait dengan Khittah NU, putra bungsu kiai Muchit Muzadi, dr Alfiyan Futuhul Hadi menegaskan bahwa Kiai Muchit Muzadi bukanlah penggagas Khittah namun membantu menerjemahkan pemikiran Kiai Achmad Shiddiq dalam bentuk tulisan.
“Soal khittah, saya kira mohon untuk digaris bawahi bahwa bapak hanya membantu kiai Ahmad Shidiq. Bapak tidak akan kerso (mau) disebut sebagai penggagas sebab seingat saya yang mengajarkan bapak bahasa Indonesia dan menulis itu justru kiai Achmad Shidiq,” paparnya.
“Jadi saya mohon hal itu untuk dikoreksi kembali bahwa itu adalah buah pemikiran kiai Ahmad Shidiq yang diterjemahkan bapak dalam bentuk tulisan,” imbuhnya.
Terkait dengan kedekatan Kiai Muchith Muzadi dengan KH Achmad Shiddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia menambahkan, kiai Muchit selalu yakin bahwa NU menjadi bagian penting dalam proses berbangsa dan bernegara utamanya soal demokrasi yang dibawa Gus Dur.
“Ada juga soal demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur, bapak punya keyakinan besar bahwa demokrasi yang dibawa Gus Dur membawa bangsa ini menjadi lebih baik termasuk dengan adanya pemilihan langsung (Pemilu) di mana ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’,” jelas dia.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad