Jakarta, NU Online
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M. Kholid Syeirazi secara tegas mengatakan bahwa negara atau pemerintah harus mengambil tanggung jawab untuk mengembalikan kiblat pembangunan sesuai dengan jiwa konstitusi yang diterjemahkan dari ideologi Pancasila.
“Penerjemahan Pancasila, keadilan sosial itu kan diterjemahkan ke sekian pasal di (konstitusi negara) UUD 1945,” kata Kholid Syeirazi kepada NU Online melalui sambungan telepon, pada Jumat (1/10/2021) bertepatan dengan Peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Ia menyebutkan beberapa pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk dijadikan sebagai kiblat dari pembangunan negara. Di antaranya pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kemudian pasal 33 ayat 3 yang menegaskan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula, bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Lalu ada pula pasal 34 ayat 1 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Sementara ayat 2 berbunyi, negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
“Intinya, negara Indonesia bukan minimal state (negara minimal) yang hanya campur tangan dalam situasi di mana masyarakat itu sudah tidak berdaya atau dalam hal terjadinya kegagalan negara, tetapi negara sejak awal didesain sebagai pelaku aktif pembangunan,” terang Kholid.
Ia lantas menyoroti terbitnya UU Cipta Kerja yang sempat mendapatkan kritik cukup keras dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Bentuk kritik tersebut dinilai sebagai upaya korektif untuk mengembalikan Pancasila sesuai dengan jiwa konstitusinya yang mencita-citakan Indonesia sebagai welfare state (negara kesejahteraan).
“Welfare state tapi khas Indonesia, bukan seperti welfare state di Eropa ketika negara itu membiarkan mekanisme pasar bekerja kemudian me-realokasi dengan menarik pajak. Pajak itu kemudian diredistribusi kepada masyarakat,” ujar Doktor Kebijakan Publik dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) itu.
Negara kesejahteraan di Eropa berbeda dengan konsep Pancasila yang menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian warga. Namun, koperasi di Indonesia pun masih sangat lemah. Sementara UU Cipta Kerja hanya memberikan akses kemudahan bagi pendirian banyak perusahaan dan perseroan.
“Itu oke saja, tetapi koperasi sebagai cerminan atau manifestasi dari ekonomi kolaborasi dan gotong-royong juga harus diberikan porsi yang penting di dalam konsep pengusahaan ekonomi nasional,” tegas Kholid.
Di samping itu, ia menegaskan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sosial dan penyediaan tenaga kerja. Namun, pemerintah tidak bisa sendiri sehingga harus didukung oleh swasta atau private sector.
“Tapi masalahnya, lama-kelamaan itu nanti sesuai dengan ideologi neo-liberalisme, tanggung jawab negara akan banyak dipindahkan ke private sector. Lama-kelamaan akan begitu semua sehingga karakter dasar negara kesejahteraan itu akan terkikis,” terang pria yang pernah menempuh studi di program pascasarjana Ilmu Politik UI itu.
Ia menilai, perekonomian negara saat ini sudah banyak dipindahkan ke private sector dan terbawa arus ideologi neo-liberalisme. Begitu pula pendidikan yang sudah mengarah pada liberalisasi. Sektor pangan, energi, dan pertambangan juga sudah mulai secara perlahan dipindahkan ke dalam private sector.
“Masalahnya, private sector ini di dalam mekanisme ekonomi memang dibutuhkan, tetapi kalau semuanya serba pasar, nanti yang terjadi adalah oligarki. Nah Indonesia ini sudah semakin mengarah kepada penguasaan segelintir orang itu atau oligarki,” tegas Kholid.
“Jadi, ciri mekanisme pasar itu kan yang kuat semakin kuat, yang menang tambah kuat, makin mengerucut ke segelintir orang sehingga kemudian yang kalah tambah miskin, yang miskin semakin menurun kemiskinannya kepada anak-cucu,” imbuh penulis buku Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi Industri Migas di Indonesia itu.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad