“Tangan nabi Muhammad dapat memberikan berkah di tempat tempat makan dan minum di mana nabi Muhammad mendatanginya.”
Dan saya tegaskan bahwa dalam literatur-literatur sejarah, hal ini tidak pernah dituliskan.
Kemudian saya dicerca pertanyaan,”dengan pernyataan seperti itu, anda tidak takut diserbu warga nahdiyyin?”
Saya jawab “Saya kira tidak. Saya hanya ingin mengajak masyarakat untuk bijak. Beragama berlandaskan ilmu pengetahuan, sebagaimana Einstein katakan, “Religion without science is blind” beragama tidak dilandasi dengan ilmu, seperti orang buta berjalan, serasa gelap dan kerap kali menabrak-nabrak orang lain. Begitulah kurang lebih cuplikan dialog saya berkaitan dengan teks sastra Maulid Ad Dhiba’i beberapa hari yang lalu.
Semua karya sastra adalah teks-teks yang mengadung unsur imajinatif, rekaan oleh pengarang. Walau mengandung unsur imaginatif, bukan berarti dalam sebuah karya sastra minim nilai historis. Tentu saja ada hal-hal yang “dikutip” dari realitas ada pula yang memang murni imajinasi pembaca. Namun demikian tidak sedikit pembaca dalam menilai karya sastra itu mengkaitkannya dengan realitas dan menganggap bahwa apa yang terjadi dalam karya sastra adalah realitas itu sendiri.
Dan dalam kategori yang ekstrim apa yang ditulis pengarang dianggap sebagai sebuah realitas tak terbantahkan. Sebagaimana dalam karya-karya sastra klasik Islam yang “hidup” di masyarakat semacam Maulid Ad-diba’i, karya sastra ini, oleh sebagian pembaca tidak hanya dianggap kitab historis tetapi sekaligus kitab-kitab yang diyakini membawa “keberkahan” untuk pembacanya.
Narasi tentang kehidupan Muhammad sudah lama tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sosok Muhammad juga ditulis dalam buku sejarah, biografi, bahkan karya sastra. Takjarang dalam sebuah karya sastra sosok Muhammad digambarkan sebagai sosok ideal, penuh mukjizat dan legendaris. Sebagaimana dalam karya sastra Maulid Ad-dhiba’i misalnya, Muhammad digambarkan sosok yang bila berjalan dilindungi awan yang senantiasa mematuhi perintahnya. Kemudian diceritakan pula bila Muhammad berjalan di suatu jalan, segera diketahui bahwa Muhammad baru saja melalui jalan tersebut karena keharumannya membekas, pun ketika duduk di suatu majlis, keharumannya akan membekas beberapa hari lamanya, sekalipun Muhammad telah berlalu. Dan masih banyak narasi narasi yang serupa dengan hal itu. Ketika Islam datang ke nusantara, menurut Yock Fang, cerita-cerita tentang nabi Muhammad juga popular di nusantara, seperti Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Tatkala Nabi Pulang Ke Rahmatullah, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Nabi Berbelah.
Semenjak kecil, sudah “dibangun” dalam benak kita narasi tentang sosok Muhammad sebagaimana dalam karya karya sastra yaitu sosok penuh kemulian, kesucian, keteladanan. Sentuhan humanis dan historis kurang ditonjolkan. Sehingga ruang-ruang kosong dalam pikiran kita yang berkaitan dengan Muhammad sebagai manusia kurang mendapat perhatian. Padahal bila kita mendekati sosok Muhammad dalam perpektif historis, Muhammad menurut Husayn dalam buku 100 Tokoh Dalam Sejarah Islam, tidak hanya baik dalam mitos tetapi juga realitas.
Muhammad hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai sosok sederhana, anggota masyarakat. Muhammad muda adalah pemuda yang gelisah melihat situasi zaman. Pemuda yang amanah dan jujur, bahkan yatim sejak kecil. Penulis menempatkan Muhammad dalam urutan pertama seratus tokoh dalam sejarah Islam, tidak hanya berkaitan dengan pribadinya yang luhur tetapi keunggulan-keunggulan dalam membaca situasi “dunia”nya. Berbeda dengan nabi lain, Muhammad tidak hanya pembawa risalah, tetapi pembangun umat, pendiri sebuah kedaulatan negara, dan risalahnya diikuti oleh sepertujuh penduduk dunia.
Michael H Hart dalam bukunya the 100, menetapkan Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Ia satu satunya yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa baik dalam hal agama maupun duniawi. Muhammad tidak hanya dikenal sebagai negarawan teragung, hakim teradil, pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat, dan pejuang kemanusiaan yang gigih.
Sebagai pejuang kemanusian, ini terlihat dari sikap egaliternya yaitu menyamakan kedudukan manusia di hadapan Tuhannya. Takpeduli dari kaum bangsawan maupun hamba sahaya. Hal ini pula yang menjadi faktor umat islam diterima dengan baik di Indonesia, egaliter diyakini menjadi angin segar ditengah berkuasanya sistem kasta kala itu. Husayn menuliskan, Muhammad tidak pernah membedakan orang kaya dengan orang miskin, bangsa arab dengan bangsa non arab. Antara yang putih dan yang hitam. Laki laki dan perempuan, yang kaya dan yang miskin. Dan raja adalah saudaranya rakyat jelata.
Dari sini kita dapat melihat, Muhammad tidak hanya memperkenalkan Islam sebagai agama, “I’tiqod asyahsiyah” keyakinan individual. Islam adalah nilai-nilai solidaritas. Islam tidak hanya identitas, tetapi satu entitas dengan visi kemanusaian yang sama.
Ketika memasuki madinah, ada peristiwa penting yang tercatat sebagai peristiwa sejarah peradaban Islam yaitu Muhammad menghasilkan konstitusi tulis pertama dalam sejarah manusia, piagam madinah, yang disepakati oleh empat komunitas yaitu Yahudi, Nasrani, Anshar dan Muhajirin untuk membentuk komunitas masyarakat madani yang isinya di antaranya adalah kebebasan bersama, berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah, tiap kelompok harus saling membantu baik yang muslim maupun yang non muslim, kesepakatan mengangkatnya sebagai pemimpin negra kemudian meletakkan landasan ekonomi, politik, kemsyarakatan untuk negara yang baru.
Itulah sekelumit naratif tentang Muhammad dalam perspektif sejarah. Dan tentu saja masih banyak sekali kisah-kisah Muhammad yang tidak mungkin saya bahas semua dalam tulisan pendek ini.
Karya sastra dimana saja mempunyai tujuan yaitu mengedukasi pembacanya. Salah satunya yaitu memberikan gambaran “ideal” tentang kehidupan agar pembacanya punya semangat menjalani hidup. Begitu pula gambaran ideal sosok Muhammad yang dituliskan dalam teks sastra Maulid Ad-dhiba’ misalnya, tujuannya adalah agar dapat menghadirkan sosok Muhammad dalam “hati pembaca”.
Walau demikian kita perlu menyadari bahwa karya sastra terdiri dari hal-hal yang tidak pasti (Unbestimmheit), mempunyai banyak kemungkinan-kemungkinan makna. Maka perlu sekali kita membaca karya sastra dengan sumber-sumber yang lain, semacam buku-buku sejarah, hadist, dan lain-lain agar kita tidak terjebak dalam “polisemi”, pemaknaan tunggal. Dengan memiliki perspektif yang luas, kita tidak mudah marah tentunya bila orang lain membangun narasi yang “berbeda” dengan kita.