Tak terkecuali sejarah Islam. Barat yang menghegemoni, punya kepentingan membuat imajinasi tentang dirinya yang maju, dan yang dianggapnya liyan sebagai yang mundur. Agar apa? Supaya semuanya pada berkiblat ke Barat yang maju. Inilah yang menjelaskan kenapa Francis Fukuyama menulis The End Of History and The Last Man. Supaya semuanya punya imajinasi, semaju apapun kamu, kamu belum maju kalau akhir sejarah kamu, tidak menjadi Barat.
Kegamangan dalam membaca sejarah inilah yang belakangan mulai banyak digugat. Recep Senturk boleh jadi adalah yang paling menyadari pentingnya memaparkan ini, maka dia menulis The Decline of The Decline Paradigm, kemunduran paradigma kemunduran.
Lewat peneltiannya itu, dia ingin mengajak kita untuk meragukan satu persatu klaim mundurnya peradaban Islam, terutama di bidang intelektual. Dari mulai masa al- Ghazali yang dituduh sebagai biangkeladi kemunduran sebab memosisikan wahyu lebih superior daripada akal, kemudian dilanjut sampai abad 16- 20 masehi yang digadang sebagai kebangkitan Eropa, maka peradaban Islam mundur perannya sudah tergantikan.
Tentang pasca al- Ghazali (1111 M) sebagai awal kemunduran, beberapa sarjana kenamaan sudah angkat bicara.
Dari sisi sumber, klaim tersebut bermasalah. Menurut Seyyed Hossein Nasr, pasca al- Ghazali ada lebih dari tiga ribu manuskrip kedokteran di India dan Yaman yang belum dipelajari. Dimitri Gutas juga sependapat saat menunjukkan bahwa karya ilmiah di periode Ottoman hampir sama sekali belum tersentuh.
Sebagaimana Muzaffar Iqbal juga ikut menegaskan, bahwa di Iran, kurang lebih ada 200.000 manuskrip, yang tiga perempatnya belum terkatalog. Ini sangat membuktikan, bahwa paradigma kemunduran memang membutakan peneliti dari data di lapangan, sebab terjebak dalam narasi kemunduran.
Keambiguan membaca fakta di balik periodisasi sejarah Islam yang bias ini juga yang pada akhirnya mengundang pembacaan ulang di kalangan para sejarawan.
Sebut saja Marshall G.S Hodgson yang dianggap berjasa dalam mengembangkan kritik terhadap paradigma kemunudran. Dia menyatakan bahwa abad ke-16 adalah puncak dominasi umat Islam Islam, bukan kemundurannya.
Masalah mereka yang menganggap masa pasca al- Ghazali sebagai kemunduran, menurutnya adalah tatkala gagal memahami Islam sebagai agama yang melampaui wilayah dan budaya Arab. Padahal pasca al- Ghazali kunci memahami khazanah intelektual Islam adalah dengan membaca Turki dan Persia. Lantas menurutnya abad 17 lah yang lebih kayak dijadikan patokan awal kemunduran.
Membaca kesimpulan Hodgson, Khaled el-Rouayheb lantas mengembangkan kritiknya, dengan secara efektif mengklaim bahwa abad ke-17 bukanlah periode kemunduran di dunia Islam, melainkan salah satu periode intelektual yang ramai dan produktif. Oleh karenanya, Rouayheb mendorong awal zaman kemunduran satu abad lebih telat, yaitu abad ke-18.
Lebih jauh lagi, penelitian Ahmad Dallal mendorong awal kemunduran lebih ke belakang lagi dengan menunjukkan bahwa abad ke-18 adalah abad intelektual yang hidup sebelum pengaruh Eropa lewat kolonialismenya. Sebagaimana Peter Adamson menempatkan awal periode stagnasi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan berargumen bahwa dunia intelektual Islam tetaplah geliat, kolonialisme tidak berpengaruh sama sekali.
Dari banyak pembacaan ulang tersebut, dapat kita pahami, alih- alih membantu memahami sejarah, periode kemunduran tidak lebih hanyalah narasi yang dibuat- buat dari waktu ke waktu. Dan dalam banyak hal malah lebih sering menjebak para peneliti sejarah untuk menulis sejarah berdasarkan imaji paradigma setiap masa.
Selain itu narasi kemunduran seringkali gagap menjawab kejanggalan- kejanggalan berikut: kalau mundur secara militer apakah lantas tradisi intelektual juga mundur? Kalau Baghdad luluh lantak, apakah lantas Kordoba, Granada, Sevilla juga? Kalau Andalusia runtuh, lantas bagaimana dengan Istanbul yang juga bagian dari peradaban Islam? Narasi kemunduran selalu diam, sebab dia tahu, kajiannya selalu berdasar generalisir yang membabi buta.