Tahlilan sendiri dalam masyarakat Nahdlatul Ulama dapat berposisi sebagai sebuah bacaan atau ritual keagamaan tersendiri. Sebagai bacaan, umumnya tahlil merupakan sederet kalimat thayyibah yang berisi pembacaan ayat dan surat tertentu dalam al-Qur’an, tasbih, tahmid, salawat, takbir dan istighfar yang disisipkan dalam sejumlah ritual keagamaan lain seperti ruwat, tasyakuran, maulid Nabi, bakan dalam reuni dan arisan masyarakat.
Sementara sebagai acara tersendiri, ritual ini biasanya dikhususkan untuk mendoakan seseorang yang baru meninggal dengan membacakan serangkaian bacaan diatas, yang kemudian ditutup dengan doa bersama. Artinya pahalanya dihadiahkan kepada arwah (mayit), termasuk pahala sedekah yang terkadang dibagikan pada jamaah tahlil oleh keluarga yang ditinggalkan.
Dalam tradisi, ritual ini pada akhirnya terikat dalam teknis-teknis tertentu yang secara seragam dilakukan oleh masyarakat sekitar. Misalnya dalam hitungan pelaksanaan yang umumnya dilakukan dalam tujuh hari berturut-turut, kemudian disusul di hari ke 40, 100, dan 1000 harinya. Terutama dalam hal jamuan atau ajang pemberian sedekah pada jamaah yang terkadang dilakukan dengan terpaksa untuk menyeragamkan diri.
Dari Kondisi ini bukan tidak mungkin jika masyarakat akan mengira aturan-aturan itu juga merupakan bagian dari ketentuan syariat agama atau pembebanan. Padahal tujuannya bukan untuk membelenggu peribadatan, melainkan sebagai bentuk altruisme dan integritas sesama umat beragama.
Kepedulian ini tidak hanya sebagai penyaluran empati dan penguatan solidaritas dalam sosial saja, melainkan juga sebagai ajang menggapai kebutuhan teologis bersama. Sebagai umat yang cenderung tidak mampu mencapai kesempurnaan ibadah sendiri, tentu kita perlu bantuan orang lain. Dengan saling mendoakan, bersama mendekatkan diri pada Tuhan, serta bersama mengingat bahwa kita sama-sama akan meninggalkan dunia.
Maka dari itu, edukasi pemahaman hukum tahlilan juga sangat perlu disegarkan di setiap penjuru desa, tidak hanya mewariskan tradisi dalam pelaksanaannya saja. Sebab, tentu tidak semua orang akan berkesempatan memahami detail dan dasar hukum dalam setiap ritual yang mereka lakukan.
Seperti dalam tahlilan masyarakat desa Sokobanah Laok, Sampang misalnya, meski secara tradisi mereka menyelenggarakan tahlilan selama 9 hari berturut-turut, tak jarang tokoh yang memimpin tahlil selalu memberi penjelasan bahwa hitungan tersebut merupakan inisiasi keluarga yang ditinggalkan. Artinya berdasar persetujuan dan kesanggupan ṣāhib al-ḥājat / muṣībat yang biasanya diumumkan di hari ketujuh.
Demikian ini menurut penulis merupakan penegasan bahwa hitungan hari dalam tradisi tahlil bukanlah sesuatu yang ditetapkan syariat agama, melainkan kesepakatan masyarakat yang terjalin dengan sendirinya dan menjadi kebiasaan. Tidak heran jika tahlilan di desa tersebut dilakukan dengan jumlah hitungan hari yang beragam. Menariknya, dari kondisi ini dapat dipahami bahwa mereka memandang tradisi pelaksanaan 9 hari tersebut hanya sebagai anjuran bagi yang berkenan melaksanakan, tidak ada keterpaksaan.
Nahdlatul Ulama sendiri memperbolehkan melakukan tahlilan dengan jumlah hari yang dikehendaki, seperti terdapat dalam buku Khazanah Aswaja karya tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Didalamnya, terkutip keterangan Shaikh Nawawī al-Bantanī dalam Nihayāt al-Zayn dengan redaksi;
“وَالتَّصَدُّقُ عَنِ الْمَيْتِ عَلَى وَجْهِ شَرْعِيَّ مَظْلُوبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ أَوْ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ، وَتَقْيِيدهُ بِبَعْضِ الْأَيَّامِ مِنَ الْعَوَائِدِ فَقَط كَمَا أَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدُ أَحْمَدُ دَخلَانَ”
Artinya, sebagaimana juga difatwakan oleh Shaikh Aḥmad Zaini Dakhlān, bahwa bersedekah atas nama mayit itu dianjurkan tanpa ketentuan harus tujuh hari, lebih ataupun kurang dari tujuh hari. Adapun sedekah dalam hari-hari tertentu itu hanya merupakan kebiasaan masyarakat. Artinya bukan ketentuan dari syariat agama yang wajib diikuti. Shaikh Nawawī juga memaparkan dalam kitabnya, bahwa menurut Shaikh Yusūf al-Sumbulawanī kegiatan demikian sudah umum dilakukan oleh masyarakat terdahulu (Nihayāt al-Zayn, wasiat, 275).