Pekan kemarin (29/05/23) salah satu kawan saya di Semarang mengajak untuk rihlah ke Salatiga, di tengah perjalanan ia menawarkan list makam-makam keramat yang akan dilewati sepanjang perjalanan jalan Semarang-Solo tersebut. Bentang wilayah kota lumpia ke selatan jelas memiliki banyak tapak tilas orang terdahulu, mengingat tanah tersebut termasuk titik terpenting yang dimiliki kerajaan-kerajaan Jawa pada masanya khususnya era Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sehingga pantas saja apabila banyak lokasi bersejarah dan makam keramat yang berada di daerah-daerah bentangan tersebut, misalnya di Ungaran ada makam Waliyullah Hasan Munadi dan Hasan Dipuro, komplek makam Gunung Pring di Muntilan hingga tanah Mataram Islam (Solo-Yogyakarta) kemudian di Ambarawa juga pernah menjadi titik terpenting markas tentara Belanda yang dibuktikan dengan peninggalan Benteng Pendem Fort William dan lainya.
Akhirnya munculah nama Mbah Abdul Wahid, yang makamnya terletak di tengah pekarangan desa Tingkir Lor. Di daerah tersebut jarang ditemukan rumah warga dan relatif sepi, terlebih makamnya berdampingan dengan makam umum masyarakat setempat, namun bagian komplek makam Mbah Abdul Wahid cenderung naik ke atas dan dikelilingi makam-makam kuno yang berupa tumpukan batu-batu andesit yang mirip dengan batu candi, begitupun makam Mbah Abdul Wahid.
Pasukan Telik Sandi Perang Jawa
Perang Jawa disebut juga dengan perang Diponegoro yang terjadi sekitar tahun 1825-1830 M adalah perang besar di pulau Jawa yang menewaskan ratusan ribu jiwa. Dalam kurun waktu tersebut, dapat dikatakan era kemenangan Belanda. Apabila kita melihat sejarah di abad ke-19, bumi Nusantara sedang dikuasai oleh penjajah Belanda setelah keberhasilannya memenangkan perang Jawa pada tahun 1825-1830 M, dan memenangi perang padri pada tahun 1835 M, serta sedang merayakan kekuasaanya setelah memenangi perang Aceh pada 1873 M. Dari data tersebut menyimpulkan bahwa Nusantara sedang di bawah puncak kekuasaan penjajahan Belanda.
Kembali ke Mbah Abdul Wahid, menurut Mbah Marjan salah satu sesepuh masyarakat mengatakan bahwa Mbah Abdul Wahid adalah salah satu pasukan Pangeran Diponegoro yang ditugaskan sebagai telik sandi atau mata-mata untuk membaca pergerakan Belanda saat perang berlangsung.
Dalam video Youtube yang tersebar, Mbah Marjan juga menceritakan asal mula Mbah Abdul Wahid bisa sampai di Salatiga. Saat perang Diponegoro berakhir, penjajah memiliki ide yang sangat buruk, mereka memanggil Pangeran Diponegoro sebagai komandan perang untuk menghadapi Belanda dengan dalih perundingan. Dalam kesempatan tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki firasat yang kurang baik akhirnya sebelum berangkat ia sempat berpesan kepada para santrinya termasuk pasukanya. Pesan tersebut adalah “apabila Pangeran Diponegoro tidak pulang lagi, maka kalian (para santri dan pasukanya) untuk pulang ke kampung halaman masing-masing dan masih ada satu komando yaitu disetiap halaman rumah, mushola atau masjid tanamlah pohon sawo,” firasat tersebut terjawab, Pangeran Diponegoro ditangkap pasukan penjajah dengan kelicikanya.
Oleh karena itu, tidak heran apabila para kiai Jawa terdahulu di halaman depan rumahnya terdapat pohon sawo, dapat dipastikan ia adalah murid atau pasukan Pangeran Diponegoro. Di Tingkir Salatiga ada dua masjid tua yaitu Masjid Al Fudhola dan Masjid Sabilul Muttaqin yang mana kedua masjid tersebut dulunya di halaman depan terdapat pohon sawo. Salah satu khatib di Masjid Sabilul Muttaqin adalah Mbah Kiai Abdan yang asli orang Tingkir Salatiga dan dapat dipastikan pasukan Diponegoro. Menurut Mbah Marjan, Mbah Abdul Wahid diperkirakan pulang ke Tingkir Salatiga diajak oleh Mbah Kiai Abdan dan wafat di Tingkir. Mengenai peninggalanya belum dapat dipastikan karena Mbah Abdul Wahid tidak meninggalkan situs seperti Mushola, di Tinggir
Silsilah Mbah Abdul Wahid
Makam Mbah Abdul Wahid sekarang sudah sangat nyaman untuk diziarahi karena sudah terdapat pendopo dan tangga untuk menuju makam agar para peziarah mendapatkan kenyamanan. Di dalam pendopo tersebut terdapat silsilah Mbah Abdul Wahid yang tersambung sampai Raden Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Dengan perincian sebagai berikut: Mbah Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrahman (P. Sambo Lasem) bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir bin Abdul Aziz bin Maulana Ishaq hingga Rasulallah saw.