Membaca Nisan Makam Kuno (1): Empat Tipe Makam Tua – Bagyanews.com
Connect with us

Kilas Balik

Membaca Nisan Makam Kuno (1): Empat Tipe Makam Tua

Published

on

Membaca Nisan Makam Kuno (1): Empat Tipe Makam Tua

[ad_1]

Walisongo adalah tokoh-tokoh penting yang dianggap sebagai pionir dalam proses ini. Beliau lah yang membuat Islam mudah diterima dan dihayati oleh masyarakat, hingga menjadi pandangan hidup bersama. Puncaknya, adalah ketika umat Islam berhasil mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang bernama Demak, dan meneguhkan posisi umat Islam di tanah Jawa.

Dilihat dari asal katanya, Walisongo berasal dari dua kata, yaitu wali yang berasal dari bahasa Arab waliyullah yang berarti orang yang mencintai dan sekaligus dicintai Allah SWT., dan kata sanga yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. (Sofwan, 2004:7).

Sehingga, Walisongo adalah sembilan orang utama yang dicintai oleh Allah Swt, yang dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh yang berdakwah menyebarkan Islam pada dekade awal di Jawa.

Sebagaimana tulisan yang dilansir dari seorang antropolog, Ambary mengelompokkan kijing makam tua Nusantara dalam 4 tipe, yakni (1) Nisan tipe Aceh; (2) Nisan tipe Demak-Troloyo; (3) Nisan tipe Bugis-Makassar; (4) Nisan tipe Lokal. Para Arkeolog lainnya ada juga yang menambahkan tipe Banten dan tipe Ternate di luar pengelompokan tipe Lokal.

Nisan yang ada pada foto yang saya lampirkan adalah masuk dalam kategori Demak Troloyo tanpa inskripsi. Ragam hias diadopsi dari kebudayaan klasik (Hindu). Model Kurawal atau Sulur Makara yang liukannya mengadaptasi simbol makara di pintu/tangga candi. Ada juga motif hias geometris segitiga atau tumpal. Adapula sulur-sulur tanaman atau hiasan medalion, yang kesemuanya juga bisa kita temukan pada dinding-dinding candi.

Tanpa inskripsi angka tahun atau keterangan lainnya, baik dalam aksara Jawa kuno atau Arab kita sulit untuk menentukan tahunnya. Jika pada makam masa Demak-Troloyo kaya akan inskripsi, maka model polosan seperti ini diduga hadir sejak awal abad 18 hingga awal abad 20 atau model nisan Hanyakrakusuman atau tipe Mataraman.

Lain lagi yang tersebar di wilayah Wonosobo misalnya, ada beberapa nisan yang pernah saya temui menyerupai atau masuk tipe nisan tersebut. Maksudnya beberapa corak dan motif yang dikelompokkan seperti motif pada masa Demak Troloyo-Mataram Islam. Misalnya pada makam habaib di Pasarean Mangunkusuman dan makam sepuh di sebaran desa-desa dengan masa berbeda-beda bahkan ada yang lebih tua dari itu. Dengan model mirip kemuncak pada candi sampai menyerupai miniatur candi kecil dengan ukiran khas atau tata letak makam yang membujur belum ke arah kiblat ka’bah.

Entah mengapa sebabnya sehingga rata-rata model kijing terbuat dari batu mirip batuan candi. Boleh jadi pada masa itu sedang hits model dengan corak yang sama, tergantung pada permintaan anak keturunan yang diwariskan.

Sebagaimana pathok, nisan dengan segala bentuk macam yang dianggap menyerupai komponen candi sepertinya perlu digali dan dikaji kembali informasinya. Sebab yang menjadi nisan tersebut boleh jadi memang nisan yang sedari dulu menjadi tanda dari makam tersebut, yang kebetulan komponen tersebut mirip dengan bentuk bagian candi. Sandi (menyimpan kode untuk dipecahkan mengandung pesan), candi, dan istilah lainnya.

Misal, kemuncak. Kemucak yang menjadi tanda makam ini ya adalah wujud bahwa ingkang sumare atau sang sahibul makom telah sampai pada puncaknya, “liqo’u rabbi” menghadap Gusti Allah Swt dengan tenang. Terkait kemuncak yang mirip bagian candi ini ya memang pada jamannya sedang marak dengan bentuk semacam itu. Kemudian bentuk nisan lainnya yang dianggap mirip lingga pun juga sama halnya yang menandakan akan ketuhanan.

Keterikatan antara nisan dan sahibul makom telah nyawiji sebuah kesatuan yang menyatu sebagaimana nisan adalah bagian terpenting dalam konstruksi dan arsitektur makam. Namun, kita yang mendewakan kemajuan pengetahuan yang katon-katon (materi) jadinya terperosok pada benda, semoga saja kita ziarah ke candi atau kuburan tak hanya ketemu pathok. Batu, elemen benda lainnya. Tetapi juga meneruskan kebaikan-kebaikan, pesan dan peran para Ulama ingkang sampun sumare yang telah wafat. Bukan malah langsung ke kuburan melihat batu nisan langsung diasumsikan, “wah ini bagian batuan bangunan candi” dan sebagianya.

Berbicara patok saya jadi teringat dengan Perang Jawa yang salah satu hal terjadi  perang adalah Pangeran Dipanegara kaget bukan kepalang mendengar kabar kebun-kebun miliknya bakal digusur. Patok-patok telah menancap di sepanjang kebun yang telah ia rawat selama bertahun-tahun sejak muda, dimana tanah-tanah tersebut begitu berharga bukan hanya karena menjadi sumber pemasukan, tapi juga, di beberapa bagian, menjadi tempat pemakaman leluhurnya.

Kemudian dengan peristiwa komite hijaz yang pada dasar dari pendirian komite hijaz adalah menyelamatkan makam Rosul dan para sahabat. Dengan dasar dari penyelamatan dan perawatan makam adalah sejarah. Menyelamatkan sejarah adalah dasar dari penyelamatan ajaran yang menjadi dasar ibadah, yaitu dengan ziarah wujud ikhitar kita, mengingat para leluhur.

Dengan semangat mengambil pesan dari komite hijaz, sekadar kekuatan semoga diri ini bisa istiqomah, ikhtiarnya meneruskan peran dan warisan yang dititipi oleh para pendahulu kita yaitu dengan terus belajar dan jika para leluhur kita meninggalkan berupa naskah-manuskrip kuno atau inskripsi yang dituangkan pada nisan atau kitab-kitab sebisa-bisanya kita mencoba menggali, membaca dan mengamalkannya. Wallahu a’lam bishowab.

 

[ad_2]

Sumber Berita alif.id

#Membaca #Nisan #Makam #Kuno #Empat #Tipe #Makam #Tua

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved