Published
3 tahun agoon
[ad_1]
Islam merupakan agama paripurna yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian, persaudaraan dan kerukunan. Namun, kadang karena ulah segelintir orang yang salah memahami, Islam tak jarang dianggap sebagai agama promotor kekerasan, perpecahan, dan kekacauan. Akibatnya, citra dan nama baiknya kerap mendapat stigma akibat sikap dan pemikiran keliru dari sebagian pemeluknya.
Ada ayat yang cukup populer dan sering menjadi “stempel” untuk membenci dan bersikap keras kepada mereka yang berlainan agama, yakni surat Al-Fath ayat 29 yang berbunyi:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Artinya, “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS Al-Fath [48]: 29).
Ayat ini tak jarang dijadikan sebagai legitimasi dan bahan bakar untuk bersikap keras dan membenci orang-orang yang berbeda agama, meskipun mereka tidak mengganggu atau bahkan berbuat baik kepadanya. Benarkah sikap ini?
Akibatnya, Islam akan terlihat sebagai agama teror dan beringas, sehingga ia tak lagi dikenal sebagai agama ramah yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, namun berjibaku dengan sikap intoleran.
Sebelum menjadikan potongan ayat ke-29 dari Al-Qur’an surat Al-Fath di atas sebagai dalil untuk bersikap keras, ada beberapa poin penting yang perlu dimengerti secara utuh, misalnya terkait sebab-sebab dan waktu diturunkannya ayat, penafsiran ulama, dan sikap Rasulullah dalam memerankan ayat tersebut. Mari mulai kita bahas dari poin pertama.
Syekh ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin bin Ibrahim al-Baghdadi, yang lebih masyhur dengan sebutan Syekh al-Khazin (wafat 741), dalam kitab tafsirnya menjelaskan, ayat di atas diturunkan ketika Rasulullah hendak melakukan ibadah haji, kemudian dihalang-halangi oleh koalisi kafir Quraisy. Dengan kata lain, ayat itu turun dalam situasi tidak aman. Ada penyerangan dari orang kafir kepada Rasulullah dan umat Islam ketika mereka hendak melakukan ibadah.
Karena diserang, Rasulullah dan para sahabat merespons serangan mereka dalam rangka menjaga diri agar tidak diam dengan serangan orang kafir. Dengan kejadian itu akhirnya terciptalah yang namanya suluh (perjanjian damai) Hudaibiyah (Syekh al-Khazin, Lubabut Ta’wif fi Ma’anit Tanzil, [Lebanon, Bairut, Darul Fikr, 1979], juz VI, h. 214).
Dengan mengetahui sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) di atas, kita dapat memahami bahwa ayat tersebut turun bertepatan dengan konfrontasi dan suasana penuh ketegangan, tepatnya ketika umat Islam hendak melakukan ibadah. Sehingga, akan keliru ketika ayat 29 dalam surat al-Fath itu diterapkan dalam situasi damai.
Oleh karenanya, poin yang sangat penting sebelum menukil kemudian menerapkan suatu ayat Al-Qur’an, adalah memahami waktu dan konteks diturunkannya ayat, dan kepada siapa ayat itu ditujukan. Sehingga, kekeliruan memahami Al-Qur’an yang justru menjadi penyebab citra Islam tercoreng akan hilang dan tidak terulang kembali.
Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi (wafat 1270 H), dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat hanya dikhususkan kepada para sahabat Nabi yang terlibat dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah saat itu. Mereka yang tidak terlibat di dalamnya, tidak memiliki sikap sebagaimana yang tergambar pada ayat di atas. Sedangkan yang dimaksud ayat “orang yang bersama dengan dia” adalah sahabat Abu Bakar,
– (وَالَّذِينَ مَعَهُ) أَبُوْ بَكْر (أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ) عُمَرُ (رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ) عُثْمَانُ (تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً) عَلِى
Artinya, “(Yang dimaksud ayat) orang yang bersama dengan dia adalah Abu Bakar; bersikap keras terhadap orang-orang kafir adalah umar; tetapi berkasih sayang sesama mereka adalah Utsman; dan kamu melihat mereka rukuk dan sujud adalah Ali” (Syekh al-Alusi, Ruhil Ma’ani fi Tafsiril Qur’anil Adzim was Sab’il Matsani, [Bairut, Darul Kutubil Ilmiah, cetakan pertama: 1998], juz XIX, h. 241).
Tidak hanya Syekh al-Alusi, penafsiran yang sama juga disampaikan oleh mayoritas ulama ahli tafsir, di antaranya, (1) Imam Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H) dalam kitab tafsirnya, ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, juz VII, h. 544; (2) Syekh Abu Ishaq an-Naisaburi, dalam kitab al-Kasyfu wal Bayan, juz IX, h. 66; (3) Syekh Muhyissunnah al-Baghawi, dalam kitab Ma’alimut Tanzil, juz VII, h. 325; dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya.
Dengan mengetahui penafsiran yang benar, melalui pemahaman para ulama ahli tafsir, akan tampak bahwa segelintir orang yang menggunakan ayat ini sebagai landasan memusuhi hanya karena berbeda agama sejatinya berseberangan dengan ajaran Islam dan maksud ayat itu sendiri. Oleh karenanya, sebagaimana penjelasan awal, ada hal yang sangat penting sebelum melakukan gerakan atas nama Islam, yaitu memahami secara utuh landasan atas gerakan tersebut.
Ada fakta menarik yang perlu diketahui terkait sikap Rasulullah dalam menerima ayat 29 dalam surat al-Fath. Ketika ayat itu diturunkan, secara bersamaan Rasulullah juga sedang mengupayakan perdamaian dengan pembesar-pembesar kafir Quraisy melalui perjanjian damai (suluh) Hudaibiyah. Bahkan, tak sedikit pun terlihat darinya sikap keras dan kaku dalam menghadapi mereka.
Ketika Rasulullah mampu melakukan pembalasan atas kekejian mereka yang pernah menghadang dan menghalanginya untuk melakukan ibadah itu, beliau tidak berkenan membalas sedikit pun, tepatnya pada peristiwa pembebasan kota Makkah (fathu Makkah), beliau menampakkan akhlaknya yang mulia.
Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah mengisahkan kejadian itu. Menurutnya, ketika Rasulullah mampu membalas semuanya, kala koalisi kafir Quraisy tidak memiliki kekuatan dan bekal apa pun untuk menyerangnya, justru Rasulullah memberikan pengamanan kepada mereka. Al-Buthi mengutip riwayat al-Baihaqi, yaitu:
قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ مَا تَرَوْنَ أَنّي فَاعِلٌ فِيكُمْ؟ قَالُوا خَيْرًا، أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ. قَالَ اذْهَبُوا فَأَنْتُمْ الطّلَقَاءُ
Artinya, “Rasulullah berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kebaikan. Saudara yang mulia. Keponakan yang mulia.” Rasulullah bersabda, “Pergilah kalian. Sekarang kalian merdeka.” (Syekh al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Bairut, Darul Fikr: 2019], h. 284).
Dari berbagai penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa ayat di atas tidak sepatutnya dipahami secara tekstual tanpa melalui pengajian dan pendalaman perihal sebab, konteks, dan sikap Rasulullah ketika menerima ayat. Sebab, tanpa memahami semuanya, seseorang rawan terjerumus kepada pemahaman keliru yang justru tidak selaras dengan maksud dan kandungannya. Akibatnya, semua perjuangan untuk membela Islam, sejatinya menghilangkan citra dan marwah Islam itu sendiri.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.
Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI
[ad_2]
Sumber Berita