Jalaluddin Rakhmat. Foto/Ilustrasi: BBC
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat (1949 – 2021) mengatakan dalam kafilah rohani yang berjalan menuju Tuhan, kita melihat barisan yang panjang. Mereka yang berada dalam barisan mempunyai martabat yang bermacam-macam, bergantung pada sejauh mana mereka telah berjalan. Dari tempat berangkat ke tujuan, ada sejumlah stasiun yang harus mereka lewati. Derajat mereka juga bergantung pada banyaknya stasiun yang sudah mereka singgahi. “Pada setiap stasiun selalu ada pengalaman baru, keadaan baru, dan pemandangan baru. Sangat sulit menceritakan pengalaman pada stasiun tertentu kepada mereka yang belum mencapai stasiun itu,” ujar Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya berjudul “
Renungan-Renungan Sufistik: Membuka Tirai Kegaiban” (Bandung, Mizan, 1995).
Menurut Jalaluddin, dalam literatur tasawuf , stasiun itu disebut manzilah atau maqam. Pengalaman rohani yang mereka rasakan disebut hal. Ada segelintir orang yang sudah mendekati stasiun terakhir. Mereka sudah sangat dekat dengan Tuhan, tujuan terakhir perjalanan mereka.
Maqam mereka sangat tinggi di sisi Tuhan. Kelompok mereka disebut awliya’, kekasih-kekasih Tuhan. Mereka telah dipenuhi cahaya Tuhan. Sekiranya kita menemukan mereka, kita akan berteriak seperti teriakan orang munafik pada Hari Akhir, “Tengoklah kami (sebentar saja) agar kami dapat memperoleh seberkas cahayamu” (QS 57:13).
Dalam kelompok auliya’ juga terdapat derajat yang bermacam- macam. Menurut Jalaluddin Rakhmat, yang paling rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang tinggi) disebut autad, tiang-tiang pancang.
Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi, kerena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya; Tuhan tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.
Berikut selengkapnya tulisan Jalaluddin Rakhmat tersebut:
lbnu Umar meriwayatkan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menolak bencana –karena kehadiran Muslim yang saleh– dari seratus keluarga tetangganya.”
Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi ini” (QS 2: 251).
Penghulu para auliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan autad ada abdal (artinya, para pengganti). Disebut demikian, kerena bila salah seorang di antara mereka meningggal, Allah menggantikannya dengan yang baru. “Bumi tidak pernah sepi dari mereka,” ujar Rasulullah SAW, “Karena merekalah manusia mendapat curahan hujan, karena merekalah manusia ditolong” (Al-Durr Al-Mantsur, 1:765).
Abu Nu’aim dalam Hilyat Al-Awliya’ meriwayatkan sabda Nabi SAW, “Karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana.”
Sabda ini terdengar begitu berat sehingga lbnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?”‘
Rasulullah SAW bersabda, “Karena mereka berdoa kepada Allah supaya umat diperbanyak, maka Allah memperbanyak mereka. Mereka memohon agar para tiran dibinasakan, maka Allah binasakan mereka. Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah turunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena doa mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.”
Allah sebarkan mereka di muka bumi. Pada setiap bagian bumi, ada mereka. Kebanyakan orang tidak mengenal mereka. Jarang manusia menyampaikan terimakasih khusus kepada mereka.
Kata Rasulullah SAW, “Mereka tidak mencapai kedudukan yang mulia itu karena banyak salat atau banyak puasa.”
Sangat mengherankan; bukanlah untuk menjadi auliya’, kita harus menjalankan berbagai riyadhah atau suluk, yang tidak lain daripada sejumlah zikr, doa, dan ibadah-ibadah lainnya? Seperti kita semua, para sahabat heran.
Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, fima adrakuha?”
Beliau bersabda, “Bissakhai wan-Nashihati lil muslimin” (Dengan kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada kaum Muslim).