Jakarta, NU Online
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Sosial dan Anak dalam Situasi Darurat Susianah Affandy mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di masa pandemi Covid-19 meningkat. Namun, kasus tersebut tidak terlaporkan.
Hal itu, kata Susianah, diduga karena layanan pengaduan dan penanganan tidak berjalan baik. Akibatnya, korban sulit mengakses layanan di daerahnya. Ia akui, kondisi pandemi menyulitkan layanan pengaduan dan penanganan korban kekerasan.
“Satu sisi, di masyarakat masih ada budaya takut untuk melaporkan kasus. Apalagi jika pelaku kekerasan adalah orang terdekat atau keluarga,” kata Susi, sapaan akrabnya, kepada NU Online, Kamis (30/9/2021).
Berdasarkan Sistem Informasi Online Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat per Jumat (23/7/2021) terdapat 5.463 kasus kekerasan terhadap anak. Kekerasan ini dialami oleh berbagai rentang usia anak. Kekerasan paling banyak dilaporkan terjadi pada anak dengan usia pendidikan SMA atau sederajat.
Rincian jumlah kekerasan yang dialami anak, meliputi: Usia 0-5 tahun 665 kasus, Usia 6-12 tahun 1.676 kasus, dan Usia 13-17 tahun 3.122 kasus. Bila dikalkulasikan dari total kasus kekerasan pada perempuan dan anak, sebanyak 5.198 kasus terjadi di lingkup rumah tangga. Sementara, lainnya terjadi di tempat kerja, sekolah, fasilitas umum dan lembaga pendidikan kilat.
Jenis kekerasan yang dialami anak pun beragam, mulai dari kekerasan seksual, fisik, psikis, penelantaran, trafficing dan eksploitasi. Pelaku kekerasan anak dan perempuan didominasi oleh laki-laki. Tercatat 6.371 pelaku adalah laki-laki, sedangkan 814 pelaku adalah perempuan.
Fenomena gunung es
Susi menambahkan bahwa data tersebut cukup memprihatinkan, karena belum menunjukkan data sebenarnya. Data ini sangat mencemaskan, karena merupakan data dari pengaduan masyarakat. Sedangkan data-data yang tidak diadukan masih seperti gambaran fenomena gunung es.
“Masih banyak tidak diadukan kepada aparat penegak hukum karena pelaku kekerasan kepada anak sebagian besar dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan anak,” ujar perempuan kelahiran Lumajang 29 Desember 1978 itu.
Perempuan yang sempat menjabat Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU) itu menjelaskan, tren kekerasan seksual yang berbeda dengan masa lalu.
“Dulu pelaku kekerasan seksual memang orang jahat atau niat melakukan tindakan kriminal. Sedangkan pelaku kekerasan seksual kepada anak hari ini justru dilakukan oleh orang terdekat dengan anak,” jelas Sekretaris Yayasan Pendidikan Muslimat NU itu.
Susianah menyebutkan kedekatan pelaku dengan korban kekerasan seksual yang terjadi di rumah merupakan anomali dari fungsi keluarga sebagai pelindung dan panutan sang anak.
“Pelakunya adalah mereka yang harusnya melindungi anak. Bahkan, pelaku memiliki hubungan dekat dengan anak seperti orang tua, saudara, guru ngaji, teman, dan bahkan kakek sendiri,” sesalnya.
Susi menilai, penyebab utama anak mengalami kekerasan adalah karena permasalahan yang dialami oleh orang tua. Selain itu, ketidakmampuan orang tua dalam mengontrol diri dari permasalahan yang dialami menyebabkan mereka rentan melakukan kekerasan pada anak.
“Masalah anak bukan akar permasalahan. Namun, dampak dari permasalahan orang dewasa. Permasalahan yang dihadapi orang dewasa berakibat pada anak seperti penelantaran, korban trafficing, anak jalanan, pekerja anak, anak berhadapan dengan hukum. Banyak terjadi orang tua yang kondisi sosial dan ekonominya tidak stabil, justru akhirnya menimpakan anak sebagai sasaran kekerasan,” imbuhnya.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori