BagyaNews.com – Menurut Instruksi Dirjen Bimas Islam, di antara aturan yang perlu diperhatikan oleh pengurus masjid dan masyarakat pada umumnya adalah sebagai berikut.
Kementerian Agama merilis surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musalla. Surat edaran ini mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mendukung kebijakan yang tertuang dalam surat edaran itu. Sementara, sebagian influencer keagamaan mempertanyakan preseden historis kebijakan tersebut. Menurutnya, dalam sejarah Indonesia, tidak pernah ada regulasi yang mengatur penggunaan pengeras suara di tempat ibadah.
Anggapan bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah membuat aturan penggunaan pengeras suara adalah tidak benar. Karena sejumlah aturan telah diterbitkan selama empat puluh tahun terakhir. Setidaknya, muncul tiga kebijakan pemerintah dalam hal ini, meliputi: Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978, Surat Edaran Nomor B.3940/DJ.III/Hk.007/08/2018 dan yang terbaru Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022.
Jadi, bisa dikatakan bahwa pemerintah Indonesia telah membuat aturan penggunaan pengerasa suara di masjid dan musalla pada empat puluh tahun lalu melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyrakat Islam (Bimas) Kementerian Agama. Menurut Instruksi Dirjen Bimas Islam, di antara aturan yang perlu diperhatikan oleh pengurus masjid dan masyarakat pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Demikian Inilah 5 Aturan Penggunaan Pengeras Suara Masjid dan Mushalla Menurut Bimas Islam. Semoga Inilah 5 Aturan Penggunaan Pengeras Suara Masjid dan Mushalla Menurut Bimas Islam dapat menambah wawasan kita bersama dan menambah kebijaksanaan masyarakat Muslim di Indonesia dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla.