Hikmah
Indahnya Cara Allah Memerintahkan Puasa Ramadhan
Published
3 tahun agoon
[ad_1]
BagyaNews.com – Allah SWT tidak menggunakan bahasa paksaan saat memerintahkan kita berpuasa. Seperti apa keindahan cara Allah SWT?
Alhamdulillah. Hari ini kita memasuki hari pertama Ramadhan, Ahad 3 April 2022. Kewajiban puasa Ramadhan berasal dari sebuah perintah Allah yang terdapat dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah: 183. Allah SWT berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 183)
Para ulama menyatakan bahwa kewajiban puasa Ramadhan adalah berdasarkan ayat ini. Karena, di dalam ayat ini dikatakan “Kutiba” yang berarti “Diwajibkan.” Sejatinya, ketika kita membaca ayat ini dengan penuh penghayatan; kita akan menemukan bahwa Allah menggunakan cara yang indah saat memerintahkan kita berpuasa.
Keindahan cara Allah memerintahkan puasa dapat kita tangkap jika kita membacanya dengan pendekatan sastrawi (ilmu bayan; balaghah). Ayat tersebut, setidanya bisa kita pecah menjadi empat frasa. Jadi, untuk menyampaikan pesan kewajiban puasa, Allah menggunakan kalimat yang agak panjang. Dalam bahasa Arab, kalimat panjang disebut dengan ithnab. Ithnab biasa digunakan saat kita berbicara dengan orang yang sangat kita hormati atau sangat kita sayangi. Kita ingin berlama-lama, berbicara sangat hati-hati, pilihan kata yang dirasa paling sesuai dengan situasi yang penuh cinta dan penghormatan, dan biasanya tidak menggunakan kalimat langsung.
Inilah bahasa penghormatan dan cinta. Ketika kita berbicara dengan orang yang kita cintai, kita terus ingin bicara dengannya. Jawaban yang sebenarnya cukup pakai satu dua kata, tetapi, kita rasa kurang enak kalau langsung. Inilah bahasa cinta. Ketika kita bicara dengan orang yang sangat kita hormati, kita juga akan menggunakan jenis kalimat ini; panjang dan penuh basa-basi.
Demikian pula dalam ayat yang memerintahkan puasa. Allah menggunakan sejumlah kalimat, empat frasa, yang sebenarnya bisa selesai dengan satu dua kata; Allah mewajibkan puasa. Tetapi, dalam ayat ini, Allah SWT keluar dari pakem bahasa ringkas dan lugas (ijaz) dan memilih bahasa panjang (ithnab). Apa saja unsur kalimat panjang itu?
- Ya ayyuha al-ladzina amanu
Ya ayyuha al-ladzina amanu berarti “Wahai orang-orang yang beriman”. Dalam banyak ayat, ketika berbicara kepada manusia, biasanya Allah mengawali dengan kata “Qul” yang berarti “Katakanlah (wahai Muhammad).” Seperti dalam ayat Qul ya ayyuhal kaafirun (Katakanlah wahai Muhammad, hai orang-orang yang kafir). Qul ya ahlal kitabi ta’alau ila kalimatin sawa’ bainana wa bainakum (Katakanlah Muhammad, wahai ahlul kitab, kemarilah kepada kalimat yang kita sepakati antara kami dan kalian). Ini seakan menunjukkan bahwa Allah ingin berkomunikasi langsung dengan kaum beriman.
Dalam komunikasi langsung ini, Allah memanggil menggunanakan ya ayyuha. Kata ini merupakan gabungan dari kata “ya”, “ayyu” dan “ha”. “Ya” adalah cara memanggil dalam bahasa Arab, baik untuk orang dekat maupun orang yang jauh posisinya. Sedangkan “Ha” di sini adalah bermakna meminta perhatian atau li tanbih. Seakan dikatakan, “Perhatikanlah wahai orang-orang yang beriman.”
Frasa ayat ini juga menyebut sifat keberimanan dalam diri orang-orang yang diajak bicara oleh Allah. Sejatinya, ada banyak sifat yang dimiliki oleh orang-orang beriman saat itu. Ada sifat dermawan, bersikap baik, pemberani, rela berkorban, ksatria, sabar, pasrah kepada Tuhan, dan lainnya. Tetapi, dalam ayat ini, Allah menyebut sifat keberimanan dengan kata-kata al-ladzina amanu. Cara mengungkapkan sifat keberimanan di sini juga digunakan rangkaian isim maushul dan shilahnya.
Penggunaan isim maushul-shilahnya menunjukkan keagungan pihak yang memiliki sifat; yaitu memiliki sifat keberimanan. Allah, sebelum memberi perintah, terlebih dahulu Dia memuji orang yang hendak diberinya perintah. Perintah itu berat, tetapi harus dilaksanakan. Yaitu melaksanakan ibadah puasa; menahan lapar, dahaga, hubungan badan dan lainnya yang dapat membatalkan puasa. Allah memanggil mereka, meminta perhatian mereka, dan menunjukkan sifat paling mulia dalam diri mereka. Wahai orang-orang yang beriman.
Penggunaan kata kerja “Amanu” menunjukkan bahwa sifat keberimanan itu telah ada dalam diri mereka. Keimanan itu terus dipertahankan, dilakukan, dan diperbarui. Di sinilah makna istimrar tajaddud dalam fi’il madhi. Wahai orang-orang yang telah beriman dan selalu meningkatkan keimanannya, Allah minta perhatian kalian, dengarkanlah dengan sungguh-sungguh.
Frasa ini menjadi semacam kode untuk mengkondisikan psikologi pendengar. Allah meminta kita untuk menyiapkan diri untuk mendengarkan dan menerima perintahnya.
- Kutiba ‘alaikum al-shiyam
Kutiba ‘alaikum al-shiyam berarti diwajibkan atas kalian berpuasa. Ayat ini menegaskan bahwa puasa adalah perkara yang diwajibkan oleh Allah. Tetapi, Allah tidak serta merta menggunakan bahasa lugas “Aku wajibkan atas kalian”.
Allah SWT sejatinya berhak dan sangat mungkin menggunakan redaksi yang lugas seperti itu. Tetapi, Allah memilih menggunakan kata “Kutiba”. Kutiba punya arti dasar menulis. Zaman dahulu, kata ini digunakan untuk menyebut mengukir di atas batu. Itulah menulis zaman itu. Menulis juga berarti membuat ketetapan. Kenapa Allah tidak menggunakan bahasa lugas seperti “Aujabtu ‘alaikum al-shiyam” saya wajibkan kalian untuk berpuasa?
Agaknya, Allah menggunakan bahasa tidak langsung adalah untuk menghindari kesan berat dalam pikiran pendengarnya. Mendengar kata kewajiban, seringkali nafsu seseorang akan langsung memberontak. Tidak terima dengan pengaturan atas dirinya yang membatasi kebebasannya. Ini sangat diantisipasi. Komunikasi Al-Quran sangat halus. Dari awal sudah dimulai dengan pujian terhadap lawan bicara dan pendengarnya. Jika digunakan bahasa yang lugas, seperti menyebut “kewajiban”, niscaya kesan persuasif yang ingin dibangun akan buyar dengan pilihan kata yang kurang tepat. Allah SWT Maha Bijaksana dalam setiap pilihan katanya.
Penggunaan kata “Kutiba” dalam bentuk pasif “Diwajibkan” menunjukkan bahwa sang pemberi kewajiban adalah sesuatu yang agung dan sangat dikenal. Tidak perlu lagi disebutkan secara eksplisit. Karena itu, kalian harus melaksanakan perintahnya.
- Kama kutiba ‘ala al-dzani min qablikum
Dalam frasa ini, Allah SWT menggunakan analogi (tasybih). Allah SWT menyamakan antara kewajiban yang diberikan kepada umat Islam saat ini dengan umat terdahulu. Mengapa Allah SWT perlu menghadirkan informasi ini?
Pemberitahuan bahwa kaum terdahulu telah menerima kewajiban tersebut bertujuan agar pendengar atau pembaca Al-Quran menyadari bahwa kewajiban itu pernah ada yang menerimanya, pernah ada yang telah melaksanakannya. Sudah ada contohnya. Mereka berhasil puasa. Mereka berhasil melaksanakan kewajiban itu. Dengan demikian, frasa analogi-tasybih ini bertujuan persuasif dengan menghadirkan informasi bahwa telah ada kaum sebelum kita yang telah menerima kewajiban itu.
Watak manusia akan lebih mudah menerima sesuatu jika sudah ada orang lain telah menerima sesuatu itu, sesuatu itu tidak membahayakan mereka, dan mereka mendapatkan keuntungan dari sesuatu itu. Karena itu, dalam teknik marketing, seorang sales sering menghadirkan informasi bahwa ada orang yang dikenal calon pembeli telah pula membeli produk yang ditawarkannya.
Kata la’alla berarti “Agar”. Dalam bahasa Arab, kata ini selain berarti alasan (ta’lil), juga berarti pengharapan (tarajji). Alasan dan harapan setelah seseorang melaksanakan perintah puasa ini adalah agar dia menjadi orang yang bertakwa. Orang yang terlatih dalam menjalankan dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Al-Quran banyak sekali memuji perilaku takwa. Ada banyak keuntungan menjadi orang yang bertakwa dalam gambaran yang diberikan oleh Al-Quran. Puasa adalah media dan sarana yang dapat menghantarkan seseorang mendapatkan ketakwaan dan keuntungan di baliknya. Orang yang bertakwa akan mendapatkan ilmu, rejeki, keselamatan, dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Harapan setelah seseorang berpuasa adalah ia pada hari selanjutnya bersikap disiplin menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya, mendapatkan ilmu, rejeki, keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Orang yang berpuasa, setelah ia menjalankan perintah Allah SWT dengan baik, diharapkan ia akan dapat mengontrol emosi, hawa nafsu, dan keinginan-keinginan buruk dalam dirinya. Dengan kontrol diri yang baik, diharapkan ia dapat istikamah menjalankan perintah Allah SWT dalam momentum di luar Ramadhan. Dengan menjauhi dorongan nafsu dan keburukan, ia akan menjaga dirinya sendiri dari dosa dan kesalahan. Di sinilah ia akan meraih kebahagiaan.
Demikian renungan cara Allah memerintahkan puasa yang begitu indah. Jika kita renungan dan tadabburi perintah Allah ini, kita akan mendapati bahwa Allah yang Maha Kuasa, Perkasa, Memaksa, sekalipun, tidak menggunakan pendekatan yang represif menggunakan kekuasaan dan keperkasaannya kepada makhluknya. Allah SWT sangat menghargai keberadaan kita sebagai manusia yang diberi akal fikiran dan hati nurani. Di sini, Allah SWT menggunakan bahasa yang penuh pujian, panggilan sayang, analogi, teladan dan harapan agar kita terdorong melaksanakan perintahnya.
Allah SWT mengajak kita menerima perintahnya dengan penuh kesadaran akal fikiran dan hati nurani kita. Puasa ini, bila kita jalankan penuh dengan keyakinan, ilmu, dan kesadaran, tentu akan lebih bermakna dibanding jika hanya dijadikan tradisi tahunan. Semoga Allah memudahkan kita dalam segala urusan.
[ad_2]
Sumber Berita harakah.id
#Indahnya #Cara #Allah #Memerintahkan #Puasa #Ramadhan