Jakarta, NU Online
Jaringan Gusdurian meluncurkan buku kumpulan esai berjudul Menatap Lukisan Gus Dur. Buku ini memuat tulisan dari para penulis milenial yang mengikuti lomba penulisan esai untuk memperingati Hari Lahir KH Abdurrahman Wahid pada 2020 lalu. Kegiatan ini, dari lomba hingga penerbitan buku, dilakukan atas kerja sama Gusdurian dengan NU Online dan Islamidotco.
Koordinator Tim Media Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Heru Prasetia menyebut beberapa orang kurator yang berhasil menyeleksi ratusan naskah menjadi 30 tulisan untuk dimuat di dalam buku tersebut. Di antara kurator itu adalah Direktur NU Online Savic Ali dan Redaktur Pelaksana NU Online Mahbib Khoiron.
Menurut Heru, buku ini sangat penting dibaca karena ditulis oleh orang-orang yang memiliki jarak waktu dan usia yang sangat jauh dengan Gus Dur. Dikatakan, sebagian besar buku tentang Gus Dur itu ditulis oleh para sahabat, murid, dan orang-orang terdekatnya. Mereka biasanya menuliskan pengalaman bersama Gus Dur.
“Nah sekarang (buku) ini, benar-benar (dihasilkan) dari orang-orang yang tidak bersentuhan secara fisik (dengan Gus Dur). Mereka mengenali Gus Dur dari nilai-nilai dan kekhasan Gus Dur yang dicerna melalui tulisan, buku, dan cerita-cerita dari orang lain. Itu pentingnya,” kata Heru dalam acara peluncuran buku Menatap Lukisan Gus Dur ditayangkan di Youtube Gusdurian TV, Rabu (29/9/2021) malam.
Ia berharap agar tradisi menulis pemikiran Gus Dur tetap dilakukan untuk mengenalkan nilai-nilai dan kekhasan dari Gus Dur. Hal itu bertujuan supaya bapak bangsa tersebut terus dikenali oleh generasi-generasi bangsa Indonesia berikutnya.
“Generasi akan terus berganti. Semoga generasi berikutnya juga akan mengenal dan memahami Gus Dur sebagaimana teman-teman melalui tulisan-tulisan di buku ini,” kata Heru.
Esais muda Kalis Mardiasih, saat membedah buku Menatap Lukisan Gus Dur itu mengatakan, topik-topik yang menjadi pembahasan sangat relevan untuk dibicarakan saat ini. Di antara topik itu membincang tentang toleransi dan perdamaian, krisis iklim, kesetaraan gender, serta ekonomi.
“Karena memang kita tahu, setiap hari yang menjadi problematika sosial kita adalah toleransi, perdamaian, kesetaraan gender, ketidakadilan, lingkungan, dan problem-problem ekonomi yang menindas kelompok rentan,” kata Kalis.
Namun, Kalis menyayangkan karena di dalam buku itu tidak ada tulisan yang menyinggung soal teknologi digital sehingga menurutnya menjadi kurang lengkap mengenai topik yang relevan pada saat ini. Salah satu problem yang bisa diangkat adalah soal otoritarianisme digital.
“Dalam ruang demokrasi hari ini, kita punya problem otoritarianisme digital yang semakin mengerikan. Bagaimana ruang-ruang demokrasi membuat kita sudah tidak bisa ngapa-ngapain di twitter, karena otoritarianisme digital membuat data pribadi mereka terlalu mudah untuk di-doxxing (disebarluaskan),” katanya.
Bahkan, menurut Kalis, otoritarianisme digital yang berawal dari propaganda di media sosial bisa membuat 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibredel begitu saja. Ia menegaskan bahwa hal itu merupakan peristiwa besar tetapi seperti tidak terjadi apa-apa.
“Negara bisa memberedel pegawai KPK dengan skenario talibanisme yang kemudian melahirkan TWK (Tes Wawasan Kebangsaa), lalu ditawari segala macam mulai masuk BUMN, sampai mau dijadikan ASN, sampai akhirnya dipecat. Ini negara gila,” tegas Kalis.
“Saya kira teknologi digital tidak boleh ketinggalan ketika kita bicara. Jadi teknologi digital bukan pelengkap tetapi menjadi satu diskursus baru yang melahirkan satu analisis sosial yang khusus,” tambahnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan