Published
1 tahun agoon
[ad_1]
Filsafat peripatetik atau peripatetisme merupakan sebuah aliran yang disematkan kepada para pengikut Aristoteles. Kata “peripatetik” berasal dari bahasa Yunani “paripatos” yang bermakna berjalan-jalan atau berjalan mondar mandir. Istilah ini digunakan berdasar kebiasaan Aristoteles yang mengajarkan Filsafat sambil berjalan-jalan –tidak diam di satu tempat–sambil mengamati segala hal yang dijumpainya dalam perjalanan. Kebiasaan ini kemudian ditiru dan dilanjutkan oleh para pengikut-pengikutnya. Dalam dunia Islam, kata ini diadopsi lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Masysya’iyyah,”
Menurut Hasan Bakti Nasution (2016), peripatetik atau masysya’iyah dapat dilihat dari dua pendekatan: ontologis dan metodis. Dalam pendekatan ontologi, aliran ini merupakan sintesa dari ajaran-ajaran agama (Islam) dengan ajaran Aristotelianisme dan Neoplatonisme. Dan secara metodis atau sebagai suatu aliran, mazhab masysya’iyyah adalah sebuah metode perumusan kebenaran melalui pendekatan argumentasi rasional (rasionalis) dengan cara demonstratif (burhani).
Dalam peripatetisme, logika Aristotelian mempengaruhi terhadap prosedur dalam memperoleh kesimpulan (silogisme), yang diawali oleh dua premis: premis mayor (umum) dan premis minor (khusus). Contoh “setiap yang berakal adalah manusia.” (premis mayor)/ “Al Farabi berakal.” (premis minor)/ “Al Farabi adalah manusia.” (kesimpulan). Cuman bedanya dalam peripatetik, premis-premis tersebut telah disepakati sebagai suatu kebenaran dan tidak perlu dipersoalkan lagi (primary truth). Dari sini, kebenaran yang didapat, pada gilirannya akan menjadi premis-premis baru bagi proses silogistik berikutnya, begitu seterusnya. (Haidar Bagir: 2021)
Tokoh Aliran Paripatetik: Dari Al Kindi sampai Ibnu Sina
Iranshahri, merupakan tokoh yang dianggap sebagai filsuf yang muncul pertama dalam dunia Islam. Tetapi karena keterbatasan artefak yang masih tersisa, sulit untuk menyebutkan bahwa ia merupakan pendiri filsafat Islam. Maka Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq as Sabbah al Kindi (w. 257 H./ 870 M.) yang berdasar jejak peninggalan karya-karyanya, memulai secara sistematis dan mengenalkan filsafat Yunani ke dalam dunia Islam.
Menurut al Kindi, pengetahuan tentang tuhan dikenal dengan filsafat pertama; filsafat yang membahas al haqq sebagai telos yang mengakhiri keseluruhan cara kerja Filsafat. maka ia menulis sebuah karya yang berjudul al falsafah al ula: membahas tentang letak filsafat Islam dalam pemikiran Islam secara universal. Bagi al Kindi, terdapat dua jenis pengetahuan yang mungkin (diperoleh manusia): pengetahuan ilahi (al ilm ilahi) dan pengetahuan manusiawi (al Ilm al Insani). Pengetahuan pertama lebih tinggi dari pengetahuan kedua, karena ia bisa mencapai pengetahun yang tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia. Maka, kebenaran yang bersumber dari wahyu harus diterima sekalipun tidak dapat dibuktikan. Dari sana kita bisa melihat bahwa pemikiran al Kindi masih dipengaruhi oleh pemikiran Islam (ilmu kalam), selain memang dia adalah penganut paham rasionalistik (mu’tazilah).
Setelah itu, ada Al Farabi (w. 340 H./ 950 M.) yang meneruskan tradisi keilmuwan al Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi. Bila al Kindi dianggap sebagai peletak pertama Filsafat Islam, maka al Farabi dikenal sebagai peletak dasar piramida sesungguhnya Filsafat dalam Islam. Al Farabi adalah komentator utama sekaligus pengikut Aristoteles (Nasr, 2014). Tidak salah, dalam dunia Islam ia dijuluki sebagai “guru kedua” (al Muallim al Tsani), dan Aristoteles dikenal sebagai “guru pertama” (al Muallim al Awwal).
Aristoteles memang mempengaruhi al Farabi dalam hal logika dan fisika. Tetapi selain itu, plato mempengaruhinya dalam pemikiran akhlak dan politik, dan metafisika dipengaruhi oleh Plotinus. Kepercayaannya terhadap berbagai aliran filsafat yang berbeda diyakini memiliki satu tujuan, yakni kebenaran.
Berbeda dengan al Kindi dan al Farabi, Ibnu Sina (w. 428 H./ 1037 M) atau Avicenna, dalam dunia barat lebih dikenal sebagai “pangeran para dokter”. Di masa al Farabi dan Ibnu Sina-lah filsafat Peripatetik (masysya’iyyah) berkembang (980-1037 M.) pada kurun waktu tersebut, berbagai filsafat Yunani mendapat kesempatan yang lebih luas untuk dikembangkan dalam lingkungan pemikiran Islam. Tidak hanya membahas masalah lama yang mendapat perkembangan baru, tetapi juga menemukan masalah masalah baru yang tidak pernah diulas sebelumnya oleh keduanya.
Sebut saja masalah baru yang belum pernah dikembangkan sebelumnya adalah filsafat kenabian, pembagian wujud menjadi yang mungkin (contigent) dan niscaya (nicessery), pesoalan eksistensi (wujud atau being) apakah mendahului esensi (quiddity) atau sebaliknya, dan juga kosmologi— termasuk emanasi— terdapat pengembangan dengan unsur teologi islam bahkan Tasawuf. Dan menurut Nasr, Ibnu Sina berupaya melihat dari kacamata berbeda, bukan dari dimensi rasionalistik kaum aristotelian akan tetapi dari sudut katerdal kosmik tempat simbolik yang secara nyata hadir memainkan perannya dalam realisasi spiritual. Dari sini pemikiran Ibnu Sina lebih mengarah kepada “teosofi kaum illuminasi” yang akan didirikan oleh Suhrawardi satu setengah abad setelahnya.
Serangan Al Ghazali terhadap Filsafat
Filsafat Peripatetik mencapai puncak kegemilangannya tidak lepas dari peran Ibnu Sina yang selanjutnya disebarluaskan oleh para murid-muridnya. Meski pada awal kemunculannya mendapat kritikan yang sangat tajam dari ahli hukum (fikih) dan kaum sufi. Mereka menentang rasionalisme inhern yang menjadi salah satu ciri khas mazhab ini. Tetapi kritikan yang sangat berpengaruh datang dari tokoh dari Thus yang bernama al Ghazali (w. 505 H./ 1111 M.).
Dalam salah satu karya polemiknya yang berjudul Tahafut al Falasifah (kekacauan para Failusuf) ia mengkritik terhadap ajaran neoplatonis yang dibawa oleh al Farabi dan Ibnu Sina. Dalam buku ini yang disusun terdapat 20 problem yang dilanggar oleh Filsuf: 16 bidang metafisika dan 4 bidang fisika. 17 digolongkan sebagai ahlul bid’ah dan 3 hal lainya dinyatakan sebagai kafir. Tetapi memang yang perlu diketahui bahwa, al Ghazali pernah mengenyam Filsafat sebelum berlabuh ke dunia tasawuf, sebagaimana penjelasannya yang terdapat dalam karya yang berjudul al Munqiz min al Dalal. Jadi tidak mengherankan bahwa di satu sisi ia telah mengembalikan pemikiran Islam kepada relnya dan di sisi lain berdampak terhadap pemenjaraan kreativitas intelektual Islam sampai sekarang.
Setelah serangan al Ghazali, filsafat peripatetik mulai redup di kawasan timur dunia Islam dan berpindah ke Barat, Andalusia, tempat filsuf terkenal lahir seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd melawan serangan al Ghazali dengan sebuah karya yang berjudul Tahafut al Tahafut (kekacauan dibalik kekacauan). Posisinya sebagai “Aristotelian fanatik” berperan ganda, selain pembela filsafat yang diserang oleh al Ghazali, ia juga mengkritisi terhadap aliran peripatetik yang ada sebelumnya. Baginya, ajaran peripatetis telah terdistorsi oleh ajaran neoplatonisme yang nampaknya bercorak illuminatik. Akan tetapi upaya Ibnu Rusyd untuk mengembalikan posisi Filsafat dalam dunia Islam, menurut Nasr, kurang cukup berhasil, ia kurang begitu berpangaruh di dunia Islam, justru di baratlah ia didengar.
[ad_2]
Sumber Berita alif.id
#Filsafat #Peripatetik #Islam #Pewaris #ajaran #Aristotelianisme #dan #Neoplatonisme