Empat Macam Pernikahan di Zaman Jahiliyah – Bagyanews.com
Connect with us

News

Empat Macam Pernikahan di Zaman Jahiliyah

Published

on

Empat Macam Pernikahan di Zaman Jahiliyah


Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Aisyah radhiyaallahu anha, bahwa pada masa jahiliyah, dikenal empat macam pernikahan. (Baca M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, 2000)


Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah.


Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik. 


Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut –tidak dapat absen– kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak.

  

Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan “bercampur” dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara  perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.


Setelah risalah Islam datang dibawa Nabi Muhammad, perempuan mendapat tempat terhormat dan meningkat perannya di ruang publik. Syariat pernikahan disampaikan oleh Nabi untuk menjaga dan melindungi jiwa dan raga perempuan serta martabatnya.


Hubungan Nabi Muhammad dengan istri-istrinya adalah hubungan yang sungguh terhormat dan agung, seperti dalam keterangan Umar bin Al-Khathab. Dan contoh semacam itu akan banyak dijumpai dalam sejarah kehidupan beliau.


Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahwa belum ada seorang pun yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah dilakukan Nabi Muhammad. Belum ada seorang pun yang dapat mengangkat martabat wanita ke tempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.


Allah berfirman: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS An-Nisaa’: 3)


“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisaa’: 129)


Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Rasulullah menikah dengan semua istrinya, maksudnya untuk membatasi jumlah istri itu sampai  empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang, bahwa Rasulullah membolehkan untuk dirinya sendiri dan melarang untuk orang lain.


Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya satu istri dan menganjurkan demikian karena dikhawatirkan takkan berlaku adil, dengan penekanan bahwa bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon



Sumber Berita

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved