BagyaNews.com – Maka dengan ini, ajaran atau keyakinan yang menyatakan guru atau mursyid mampu menyingkap nama ruh atau dengan kasyf-nya mampu menyampaikan nama ruh kita, insya Allah, tidak terdapat dalam kitab al-Ghunyah.
Ismu ruh. Perdebatan tentang eksistensi ismu ruh atau nama ruhani terus berlangsung. Buya Arrazy Hasyim, pendakwah yang mempopulerkannya, menunjukkan referensi yang digunakannya. Yaitu kitab al-Ghunyah karya Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Namun, muncul kritik terhadap pemahaman Buya Arrazy Hasyim terhadap teks yang dikutipnya.
Ini adalah tanggapan Ustadz Hidayat Nur, seorang ustadz muda, dari Jawa Tengah. Terlepas dari pro-kontra dalam masalah ini, tanggapan beliau cukup penting mewakili kelompok yang menolak. Berikut catatan beliau sebagaimana ditulis dalam laman Facebook beliau.
Dalam video klarifikasi yang beredar, bahwa nama-nama ruh kita, para manusia, dijelaskan dalam kitab “Ghunyah ath-Thalibin” pada “bab iradah, murid dan murad”. Sayangnya dalam video tidak disampaikan teks mana yang dimaksudkan dari kitab tersebut.
Alhamdulillah saya sudah membaca kitab “al-Ghunyah” pada “Kitab Adab al-Muridin, fasal iradah, murid dan murad” seperti yang ditunjukkan dalam video klarifikasi, dan saya menemukan teks Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yang dalam dugaan saya, teks itulah yang dijadikan dasar dalam menjelaskan tentang asma ruh. Dan bab “iradah, murid dan murad” tidak terlalu panjang, sehingga tidak terlalu sulit bagi kita untuk mencarinya. Apalagi diksi ataupun narasi yang digunakan Syaikh Abdul Qodir al-Jilani cukup mudah dipahami atau tidak mughlaq (sulit).
Setelah menjelaskan tentang sifat-sifat “murid” (istilah untuk salik dalam kitab tasawuf) yang konsentrasinya hanya kepada Allah, melaksanakan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah, ridha qadha’ qadar Allah, dan sifat-sifat lain yang maklum disebutkan dalam kitab-kitab tasawuf, maka “murid” akan wushul kepada Allah, masuk jajaran daftar kekasih-kekasih Allah, dan berubah level dari “murid” menjadi level “murad” dan mendapatkan laqob atau julukan atau predikat dari Allah, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menulis:
ويلقب بألقاب يتميز بها بين أحباب الله فيدخل في خواص الله ويسمى بأسماء لا يعلمها الا الله ويطلع على أسرار تخصه
“Dan murid itu akan mendapatkan laqob-laqob (predikat/julukan) yang dengannya ia berbeda dengan kekasih-kekasih Allah (yang lain), kemudian ia masuk dalam jajaran orang-orang khusus Allah dan diberi nama (asma) yang hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya dan ia juga akan mampu menyaksikan sir-sir yang terkhusus baginya”. (al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haq hal. 440 cet. Dar Ihya’ Turats al-Arabi).
Dari teks ini dapat disimpulkan:
1. Pemberian laqob adalah hak prerogative Allah, bukan hak manusia atau mursyid atau guru sebagaimana dipahami sebagian orang.
2. Murid juga mendapatkan nama-nama dari Allah dan hanya Allah yang mengetahuinya.
3. Laqob bukanlah ismu ruh, dan antara keduanya berbeda. Bahkan secara ilmiyah, jika laqob ini dimaknai ismu ruh, maka bisa masuk kategori tahrif kalam ulama’.
4. Murid naik menjadi murad adalah dengan melaksanakan ajaran syariat dan adab dalam tasawuf secara haq dan benar, bukan ujug-ujug diberi nama ruh atau masuk ajaran seseorang kemudian mendapatkan nama ruh.
Maka dengan ini, ajaran atau keyakinan yang menyatakan guru atau mursyid mampu menyingkap nama ruh atau dengan kasyf-nya mampu menyampaikan nama ruh kita, insya Allah, tidak terdapat dalam kitab al-Ghunyah. (Sumber: FB Ust. Hidayat Nur)