BagyaNews.com – Lantas, bolehkah suami-istri berhubungan intim (jimak) sebelum membasuh kemaluannya yang mutanajjis?
Kemaluan merupakan alat yang sangat vital dalam aktivitas seks sepasang suami-istri. Tanpanya, besar kemungkinan kepuasaan seksual yang menjadi (salah-satu) tujuan awal nikah tidak tercapai. Karenanya, tidak heran jika suami diperbolehkan mengembalikan seorang istri kepada keluarganya (fasakh) jika kemaluan si istri tersumbat oleh daging. Demikian pula, seorang istri boleh memulangkan suaminya jika kemaluan si suami tidak bisa ereksi (impoten).
Di samping itu, kemaluan merupakan organ tubuh yang salah satu fungsinya adalah mengeluarkan ampas hasil metabolisme. Yang mana hampir sebagian besar hasil metabolisme itu berupa sesuatu yang najis dalam pandangan syari’at. Seperti kencing, madi,dan wadzi. Maka tak ayal, bila proses pengeluaran cairan-cairan najis ini menjadikan kemaluan berstatus kena najis (mutanajjis). Lantas, bolehkah suami-istri berhubungan intim (jimak) sebelum membasuh kemaluannya yang mutanajjis?
Menurut Imam al-Romli, haram hukumnya seorang suami berhubungan intim dengan istrinya sebelum membasuh kemaluannya yang mutanajjis. Demikian pula, seorang istri diharamkan mempersilahkan suaminya menyetubuhi dirinya saat kemaluannya sendiri belum disucikan. Ini berlaku baik pada kondisi ada air ataupun tidak.
Hal ini sebagaimana keterangan Syekh Sulaiman dalam kitabnya Tuhfatu al-Habib ‘ala Syarhi al-Khatib Juz I halaman 153;
وأفتى العلامة الرملي بحرمة جماع من تنجس ذكره قبل غسله ، وينبغي تخصيصه بغير السلس ، وأما المرأة التي لم تستنج أو تغسل فرجها فيحرم عليها تمكين الزوج قبل غسله ، وكذا هو لو كان مستجمراً بالحجر فيحرم عليه جماعها ويحرم عليها تمكينه ، ولا تصير بالامتناع ناشزة
“Imam al-‘Allamah al-Romli berfatwa bahwa jimak haram hukumnya bagi seorang yang belum membasuh penisnya yang mutanajjis. Namun keharaman ini tidak berlaku kepada orang yang beser (keluar kencing terus-menerus). Adapun perempuan yang belum ber-istinja’ (bersesuci dengan batu) atau belum membasuh vaginanya maka diharamkan baginya memperpersilahkan suaminya untuk menyetubuhinya. Demikian pula haram jika si suami hanya mensucikan penisnya dengan batu (istinja’), tidak dengan air. Dan pada kondisi tersebut si istri tidak dianngap nusyuz lantaran tidak mau menerima ajakan bercinta dari suaminya.”
Lebih lanjut Syekh Sulaiman al-Bujairami menjelaskan;
وَعَلَيْهِ فَلَوْ فَقَدَ الْمَاءَ امْتَنَعَ عَلَيْهِ الْجِمَاعُ، وَلَا يَكُونُ فَقْدُهُ عُذْرًا فِي جَوَازِهِ، نَعَمْ إنْ خَافَ الزِّنَا اتَّجَهَ أَنَّهُ عُذْرٌ فَيَجُوزُ الْوَطْءُ، سَوَاءٌ كَانَ الْمُسْتَجْمِرُ بِالْحَجَرِ الرَّجُلَ أَوْ الْمَرْأَةَ، وَيَجِبُ عَلَيْهَا التَّمْكِينُ فِيمَا إذَا كَانَ الرَّجُلُ مُسْتَجْمِرًا بِالْحَجَرِ وَهِيَ بِالْمَاءِ كَمَا قَالَهُ ع ش وَقِ ل
“Oleh karena itu, jika suami tidak menemukan air untuk membasuh kemaluannya maka dia tidak boleh menjimak istrinya dan ketiadaan air tersebut tidak bisa menjadi alasan (udzur) untuk membolehkan jimak. Namun, jika si suami dikhawatirkan akan terjerumus kedalam perzinahan maka dia diperbolehkan menjimak istrinya. Baik yang bersesuci dengan batu (istinja’) itu suami atapun istri. Dan jika hanya suami yang bersesuci dengan batu maka si istri wajib mempersilahkan suaminya untuk menyetubuhi dirinya.”
Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami keharaman suami berhubungan intim dengan istri tersebut berlaku jika masih terdapat air. Artinya, jika suami tidak dapat menemukan air untuk digunakan mensucikan kemaluannya lalu bersesuci mengunakan batu maka hukumnya berubah menjadi boleh.
Keterangan ini disampaikan Syekh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya al-Darul Mukhtar wa Hasyiyatu Ibni ‘Abidin Juz I Halaman: 298;
وَبَقِيَ مَا لَوْ كَانَ مُسْتَنْجِيًا بِغَيْرِ الْمَاءِ، فَفِي فَتَاوَى ابْنِ حَجَرٍ أَنَّ الصَّوَابَ التَّفْصِيلُ، وَهُوَ أَنَّهُ إنْ كَانَ لِعَدَمِ الْمَاءِ جَازَ لَهُ الْوَطْءُ لِلْحَاجَةِ، وَإِلَّا فَلَا
“Dalam kasus bersesuci dengan batu, maka dalam kitab fatwa-fatwanya Ibnu Hajar hukumnya dirinci; jika itu dilakukan lantaran tidak ada air maka suami boleh menyetubuhi istrinya karena ada kebutuhan mendesak (hajat), sementara jika dilakukan saat adanya air maka tidak boleh.”
Meski demikian, Syekh al-Syarwani memberikan catatan bahwa keharaman tersebut tidak berlaku jika kemaluan suami menjadi mutanajjis lantaran mengeluarkan madzi. Alasannya karena terkadang madzi itu keluar berulangkali sehingga akan menyulitkan suami jika diharuskan membasuhnya. Terlebih jika keluar saat sedang melakukan foreplay. Bisa-bisa membuat kemaluan melemas dan tidak bergairah lagi. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhi al-Minhaj wa Hasyiyah al-Syarwani wa al-Ubbadi [Juz I. Hal: 285])
Demikian artikel “Habis Pipis Belum Cebok, Bolehkah Berhubungan Intim Saat Kemaluan Masih Najis?” Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Artikel “Habis Pipis Belum Cebok, Bolehkah Berhubungan Intim Saat Kemaluan Masih Najis?” adalah kiriman dari Achmad FawaidSantri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo.