Ajaran tersebut meliputi 20 sifat wajib Allah, 20 sifat muhal ‘mustahil’ bagi Gusti Allah Swt, 1 sifat jaiz bagi-Nya, 4 sifat wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil bagi Rasul, dan 1 sifat Jaiz bagi Rasul yang jika dijumlah keseluruhannya menjadi 50 atau seket (dalam bahasa Jawa), sehingga disebut syiir ‘Aqoid Seket. Syiir Wujudan ini biasanya dilantunkan setiap malam sepanjang Ramadan setelah sholat tarawih dan sebelum tadarus Al-Qur’an oleh jamaah secara bersamaan.
Syiiran merupakan bentuk karya sastra Islam yang menunjukkan bahwa para mubaligh mengenal betul akan karya-karya Islam, sehingga menuangkannya dalam bentuk bahasa Jawa agar mudah dipahami oleh masyarakat, seperti syiir ‘Aqoid Seket yang menggunakan dialek atau nada khas Wonosobo, dan yang lebih mengagumkan adalah jenis nada atau vokal yang diciptakan oleh mubaligh menunjukkan karakter suara yang khas, atau lebih terasa sebagai bersahaja seperti orang desa yang hidupnya bersahaja, jujur, tegas, dekat dengan alam dan Tuhan. Rahmatan lil ‘alamin.
Syiiran adalah suatu khasanah sastra Islam Jawa yang berbentuk nadhom yang dilagukaan sebagai sebuah budaya yang melekat dengan kehidupan di masyarakat. Intinya adalah sebagai pengajaran dan pengamalan dari ajaran agama tentang ketauhidan ala Ahlussunnah Wal Jama’ah, tentunya juga sebagai hiburan untuk masyarakat dan gambaran tentang hidup rukun bebrayan dengan nyaman.
Syiir Wujudan itu sendiri dilantunkan setiap malam selama bulan Ramadan, dan sudah berlangsung bertahun tahun dari generasi ke generasi secara bersamaan, setelah sholat tarawih. Begitu anonim dan belum jelas siapa pengarang syi’ir tersebut. Ada yang menyebutkan itu karya dari KH. Abu Darda’ Sigedong, Kepil, Wonosobo, ada pula yang menyebutnya dari KH. Asnawi Umar, Pangen, Purworejo. Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut, yang jelas ini karya para mubaligh masa lalu, oleh karena itu sebagai wujud kebudayaan kita harus melestarikannya.
Dalam melantunkan syiir ini biasa diiringi kentongan atau bedug. Akan tetapi, di mushola As-Syukron, di daerah Garung, Wonosobo sedikit berbeda, yaitu diiringi terbang Jawa, yaitu paduan antara pukulan terbang dan suara. Para penabuh harus melakukan koordinasi dan kerjasama agar menjadi suatu pola yang baik dan menimbulkan nada dan tempo yang pas, dan yang kerap dilantunkan serta diiringi dengan terbang jawa papat ini termasuk seni rodat atau kerap disebut kemplingan oleh masyarakat Wonosobo.
Berikut ini kutipan dari syiir wujudan atau “aqoid seket” yang masih dilantunkan:
Wujud pesti ono Allah muhal yen ora onoho, Qidam ndingin Allah muhal yen kedinginan ‘adam, baqa’ langgeng Allah Allah muhal yen keno rusak, mukholafatuhu lilhawaditsi beda Allah kelawan ingkang anyar muhal yen podoho..
Awal syiir diawali dengan menjelaskan sifat wajib Gusti Allah Swt dari wujud sampai sifat ke dua puluh dengan sekalian diselingi sifat muhalnya. Kemudian dilanjutkan dengan mengklasifikasikan sifat 20 menjadi sifat empat. Sifat nafsiyah, sifat salbiyah, sifat ma’ani dan sifat maknawiyah.
Utawi manjing sifat kalih dasa iku manjing dadi papat, ingkang dingin manjing sifat nafsiyah, kapindone manjing sifat salbiyah, kaping telune manjing sifat ma’ani, kaping pate manjing sifat maknawiyah…
Sifat empat tadi dikerucutkan menjadi dua, yaitu sifat istighna dan sifat iftiqor nantinya sifat dua tadi di kompres menjadi sifat satu yaitu, isim dzat yaitu “Allah”sendiri. Dalam syiir disebutkan dengan “utawi sifat loro iku manjing dadi siji, iya ana ing isim dzat tegese isim dzat iku hiya lafadz allah.”
Ketika menjelaskan sifat jaiz Allah mengibaratkan dengan wenangnya Allah dalam membuat kemungkinan, yaitu membuat bumi langit beserta isinya. Pencipta syiir tersebut memberikan contoh-contoh dengan mudah dan gamblang diterima. “Utawi jaiz e Allah Ta’ala iku siji, tegese jaiz iku wenang gawe mumkin tegese mungkin iku bumi langit sakisine.”
Setelah selesai menuangkan sifat-sifat Allah disambung dengan menjelaskan tentang sifat 4 wajib-muhal Rasul beserta maknanya sampai pada sifat jaiz (wenang) para Rasul. “Ing wenange para Rasul iku siji, katekanan aradh basyariyah kaya lara, ngelu mules, dahar, nginum sare, wathi, krama, kelawan sepadane kabeh iku wenang.”
Bahwa dalam sifat wenang rasul itu aradh basyariyah sifat yang lumrah terdapat pada manusia. Artinya, satu-satunya sifat jaiz yang dimiliki rasul tersebut adalah kesamaan sifat rasul dengan manusia biasa. Tetapi sifat-sifat tersebut tidak lantas mengurangi martabat nabi dan rosul yang mulia. Hal ini dikarenakan para rasul ma’shum (terpelihara) dari segala perbuatan maksiat.
Menariknya, menyelingi dari kalimat per kalimat setiap ganti bab pembahasan diberi kalimat syiir “lan kabeh ngaweruhana wong ‘aqil baligh sedaya..” seperti menjadi sebuah pengingat untuk pendengar lantunan syiir tersebut mengetahui apa makna dan pesan yang disampaikan dari karya sastra tersebut. Penulis pun menganggap syiir ini bermanfaat sekali dalam mengajarkan ketauhidan dengan bahasa yang lugas, sederhana dan sistematis tetapi cepat dipahami bagi awam ini.
Sebagai pungkasan syiir wujudan tersebut di akhiri dengan sholawat nabi dan doa “Ya Rabbi-jn’al hadza baladan aminan, warzuq-ahlahu, rizqan hasanan halalan thayyiban.” Menunjukkan dengan bersholawat kepada Kanjeng Nabi dan mengagungkan Allah semoga doa-doa dikabulkan. Tradisi syiiran wujudan ini semoga akan terus berlangsung dan dilantunkan. Maka harapan untuk keselamatan bangsa dan negara akan terus langgeng di langitkan menyertai pekikan suara dengan lantang syiir wujudan dan sholawat tersebut. Wallahu a’lam bisshowab.