Kupat atau ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam terutama di Jawa sejak zaman berdirinya pemerintahan Demak pada awal abad ke-15. Ketupat diperkenalkan kepada masyarakat Jawa oleh salah seorang dari Wali Songo yaitu tepatnya Raden Mas Sahid atau yang lebih populer adalah Sunan Kalijaga, beliau memperkenalkan tradisi ketupat secara Islami pada masyarakat sebagai bentuk dari akulturasi budaya yang sudah lama ada di tanah Jawa dengan ajaran Islam yang baru datang dan tumbuh di Jawa.
Ketupat atau kupat merupakan kependekan dari kalimat berbahasa Jawa yang berarti Ngaku Lepat (Mengaku bersalah) atau Laku Papat. Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari lebaran, luberan, leburan, laburan bisa dijabarkan sebagai berikut:
LEBARAN atau berasal dari kata dalam bahasa jawa Lebar atau habis sama sekali. Biasanya digunakan dalam penyebutan untuk pepohonan yang sudah habis buahnya di pohon tersebut dan tak bersisa satu pun. Maka dalam hal ini dijadikan sebagai makna sebutan atau idiom usai atau berakhirnya waktu puasa Ramadhan
LUBERAN berarti meluber (tumpah) atau melimpah, sebagai simbol ajaran bersedekah (bagi yang berharta atau berezeki lebih)
LEBURAN artinya melebur dosa dengan saling memaafkan
LABURAN berasal dari kata labur atau kapur, maksudnya menjaga kesucian lahir dan batin. Dari itulah sehingga kenapa didesa atau kampung-kampung di masyarakat Jawa setiap menjelang hari Raya Idul Fitri atau Lebaran kebanyakan orang pada nglabur atau mengecat rumahnya dengan Njet atau Gamping (kapur) yang berwarna putih.
Bentuk ketupat yang persegi empat itu memiliki filosofi Kiblat Papat Limo Pancer atau arah kiblat, segala sesuatu yang berjumlah empat, arah mata angin (Utara-Timur-Selatan-Barat) ataupun elemen alam (Tanah-Air-Api-Angin) semuanya akan kembali ke pada yang satu, yaitu Allah SWT.
Ketupat dihidangkan dengan beberapa masakan, biasanya dan umum berada di atas meja makan diantaranya adalah sayuran yang dimasak menggunakan santan kelapa. Hal tersebut biasanya di dalam masyarakat Jawa dijadikan sebuah pantun yang dalam bahasa Jawa lebih dikenal dengan Parikan.
Dalam parikan Jawa tersebut berbunyi; kupat duduhe santen, menawi lepat nyuwun pangapunten yang artinya dari syair tersebut, ketupat berkuah santan, jika ada salah mohon dimaafkan. Masakan lain yang bersanding juga disitu biasanya cecek atau krecek, terbuat dari bahan kulit sapi dan irisan hati sapi, kulit melambangkan arti “lahir” sedangkan hati melambangkan arti “batin”. Artinya dengan ikhlas memaafkan kesalahan secara lahir dan batin.
Bungkus ketupat dibuat dari Janur, memiliki makna yang sangat dalam, yaitu berasal dari bahasa Arab Ja’a Nuurun, yang berarti telah datang cahaya kebahagiaan karena telah selesai menjalankan ibadah puasa, dan kembali suci dihari Idul Fitri. Juga bisa diambil dari bahasa Jawa jatining nur yang berarti sejatinya cahaya yaitu hati nurani.
Anyaman janur dimaknai sebagai harapan penguatan jiwa & raga, anyaman yang bersilang-silang mencerminkan banyaknya kesalahan atau dosa setiap manusia di berbagai aspek dan lini kehidupan hingga bertindih-tindih. Rumitnya anyaman menjadi satu kesatuan, sama seperti umat muslim pada hari raya Idul Fitri. Kesucian Hati, terlihat dari ketupat yang di belah dua dan terlihat warna putih dari dalamnya, yang berarti iman manusia telah kembali kepada fitrahnya, putih, bersig dan suci.
Itulah asal-usul ketupat makanan yang selalu tersaji pada setiap lebaran atau hari raya Idul Fitri. Sebuah sajian makanan penuh filosofi yang maknawi, diciptakan oleh para wali yang saat ini nyaris mulai pudar makna filosofinya. Karena mungkin kebanyakan masyarakat sekarang hanya tau kulitnya dan hampir tak mau mempelajari hingga esensi filosofi yang melekat didalamnya.