Imam Shamsi Ali (kiri) berjabat tangan dengan Wali Kota New York Eric Adams, saat acara buka puasa bersama jajaran pemerintahan Kota New York. Foto/dok Shamsi Ali
Imam Shamsi Ali Direktur Jamaica Muslim Center,Presiden Nusantara Foundation“
The beauty and the strength of our City is not because of its skyrocketing buildings in Manhattan. Neither because of the Wall Street, nor because UN home is this City. But because the bridges that connect, not only between Boroughs of the City. But more importantly between peoples of our great City.”
Itu penggalan ceramah saya di acara buka puasa bersama dengan wali kota dan seluruh jajaran pemerintahan Kota New York, Kamis, 6 April di Queens New York.
Acara yang cukup istimewa ini dihadiri oleh tokoh-tokoh Muslim dan non Muslim di Kota New York. Sementara dari pemerintah kota, selain wali kota juga hadir beberapa anggota DPRD, Presiden Queens Borough, NYC School Chancellor, Senator John Lui, Public Advocate, dan Chief Judge di Queens Melinda Katz.
Saya seperti beberapa kali sebelumnya di acara ini saya kembali diminta jadi pembicara mewakili komunitas Muslim di kota ini. Sementara dari pihak pemerintah kota, selain wali kota juga ikut berbicara Borough Presiden, Public Advocate (Jumane Williams), dan NYC Chancellor (Mr Banks). Mewakili wanita Muslimah hadir Sr Marwa Janini dari Arab American Association New York.
Dalam ceramah yang seharusnya diminta berbicara mengenai “berkarakter dermawan di bulan Ramadan ” (being charitable in the month of Ramadan), saya justru lebih banyak berbicara ke walikota dan jajarannya. Saya ingin kesempatan itu menjadi jembatan yang kuat untuk membangun komunikasi dan kerja sama yang baik antara komunitas muslim dan pemerintahan Kota.
Saya memulai dengan mengatakan bahwa Wali Kota New York, Eric Adams, kali ini memiliki kepercayaan agama yang baik (man of faith). Ada dua alasan kenapa saya berkesimpulan demikian. Satu, karena hanya lima hari setelah dilantik menjadi Wali Kota beliau berkunjung ke Masjid kami, Jamaica Muslim Center, di Queens New York.
Dua, dan ini lebih penting adalah pidato wali kota baru-baru ini di acara annual Interfaith Breakfast di Kota New York. Beliau ketika itu dengan sangat terbuka mengatakan bahwa kehidupan dan agama tidak mungkin bisa terpisahkan. Dan itu termasuk dalam kehidupan publik.
Bagi saya pernyataan itu menggambarkan keseriusan beragama, sekaligus keberanian dari seorang Wali Kota New York. Kita kenal negara ini, dan pastinya Kota New York, dikenal sebagai negara sekuler. Tapi beliau memberikan argumentasi yang kuat bahwa agama adalah sisi yang tak terpisahkan dari kehidupan. Yang diperlukan adalah bagaimana menempatkan agama dalam konteks kehidupan publik manusia.
Saya juga mengingatkan bahwa sebagai warga Kota New York terlalu banyak yang perlu disyukuri. Bagi komunitas Muslim kita mensyukuri iman, komunitas, dan lain-lain. Tapi salah satu yang harus disyukuri adalah bahwa kita hidup di sebuah kota yang terkuat di dunia.
Namun kekuatan dan keindahan Kota New York bukan pada gedung-gedung pencakar langit di Kota Manhattan. Bukan pula karena Wall Street atau gedung PBB. Kekuatan dan keindahan kota ini ada pada jembatan-jembatan yang solid, yang tidak saja menghubungkan antar Borough di Kota New York. Tapi jembatan yang menghubungkan antarwarga di kota ini.
Di kota ini semua ras, etnis, budaya dan agama, serta strata sosial ada. Tapi satu hal yang disadari semua pihak adalah bahwa Kota New York adalah milik bersama. Jika anda di Kota New York, baik datang berabad lalu, atau baru beberapa tahun lalu, Anda adalah penduduk Kota New York yang dirangkul dengan hati dan senyuman.
Saya kemudian menyampaikan terima kasih kepada wali kota dan jajarannya karena membuka Kota New York untuk imigran-imigran baru yang datang ke negara ini. Hal ini berbeda dengan sikap Gubenur Florida misalnya yang justeru membuang imigran itu ke kota-kota lain di Amerika.
Pada akhirnya saya mengingatkan semuanya bahwa salah satu hikmah terpenting dari Ramadan adalah “to uncover our common humanity” (menemukan kembali kemanusiaan Universal kita). Karenanya aspek fisik kehidupan kita kesampingkan sementara untuk memperkuat nilai ruhiyah kehidupan yang sesungguhnya menjadi jati diri kemanusiaan manusia. Manusia itu jadi manusia karena kemanusiaan dan spiritualitasnya.
Nilai spiritualitas inilah yang membentuk hati atau jiwa yang bersih. Dan dengan hati yang bersih itu akan terlahir karakter yang mulia. Kedua hal inilah (hati dan karakter) yang tersimpulkan dalam Kata “taqwa” yang menjadi basis kemuliaan manusia.
“So for us, our honor and dignity in fact is not with our race, skin color, social status, etc. But with our hearts and the content of our characters,” tegas saya di akhir ceramah yang singkat itu.
Wali Kota Eric Adams nampak menyimak dengan seksama. Sesekali mengangguk, bahkan ikut bertepuk tangan bersama hadirin lainnya. Semoga saja acara ini dan apa yang saya sampaikan bermanfaat dan menjadi jalan kebaikan bagi semua. Amin!
Tulisan ini pengganti tulisan harian memaknai Keberkahan Ramadan seri 16.
(Bersambung)!
(rhs)