Umar bin Khattab terkenal sebagai orang yang lebih mementingkan orang lain ketimbang pribadi. Foto/Ilustrasi: Ist
Kebanyakan pakar ilmu pengetahuan hampir sepakat bahwa secara alami manusia adalah egois dan mementingkan dirinya sendiri, dan ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya sendiri.”Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh lagi, bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang adalah tidak lebih dari suatu bentuk egoisme yang dibungkus dengan topeng,” tutur Dr Mushthafa as Siba’i dalam bukunya berjudul “
Akhlaaquna al Ijtimaa’iyyah” yang diterjemahkan Abdul Hayyie al Kattani menjadi “
Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain“.
Nah, di bulan Ramadan ini As-Siba’i mengajak kepada kebaikan dan mendorong kepada sikap mementingkan orang lain. “Oleh karena itu, marilah kita memperhatikan prinsip-prinsip sikap ‘iitsar’ mementingkan orang lain dalam akidah kita, dan pengaruh hal itu dalam sejarah kita,” ujarnya.
Menurutnya, dari situ kita dapat menyingkap semerbak kemanusiaan yang mulia, yang pada saat ini telah ditutupi oleh ambisi dan hawa nafsu .
Ia mencontohkan, saat Rasulullah SAW dan para sahabat beliau melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau mempersaudarakan antara kaum mukmin dari kalangan Muhajirin dengan kaum mukmin dari kalangan Anshar .
Yaitu dengan menjadikan bagi setiap individu dari Anshar seorang saudara dari kalangan Muhajirin. Maka saudara dari kalangan Anshar itu membawa saudaranya yang berasal dari kalangan Muhajirin ke rumahnya, untuk kemudian membagi dua semua yang ia miliki dengan saudaranya dari muhajirin itu; ia membagi dua hartanya, pakaiannya, makanannya, kendaraannya, dan memperlakukannya di hadapan dirinya dan keluarganya sebagai seorang kekasih terhadap kekasihnya.
Ia tidak segan-segan membantunya, dan memberikan nasihat serta uluran tangan. Sehingga kalangan muhajirin melupakannya penderitaan mereka yang telah meninggalkan kampung halamannya, keluarganya dan kekayaannya. Sehingga Al Quran mencatat fenomena iitsaar ‘mementingkan orang lain’ yang terpuji ini untuk dijadikan pelajaran abadi bagi generasi-generasi berikutnya. Bacalah firman Allah SWT berikut ini:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” ( QS Al Hasyr : 9)
Allah SWT berfirman tentang orang-orang yang mengorbankan arwah mereka dalam membela kebenaran dan kebaikan, sebagai berikut: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” ( QS Ali Imraan : 169.)
Dan berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang melakukan kebaikan tidak karena tujuan mendapatkan pujian dan balasan dari orang lain, sebagai berikut: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” ( QS Al Insaan : 8-9)
Saat Rasulullah SAW memutuskan untuk melakukan hijrah dari rumah beliau yang telah dikepung oleh kaum Musyrikin dan mereka berniat untuk membunuh beliau, tempat tidur beliau digantikan oleh anak paman beliau, Ali bin Abi Thalib ra . Ia memilih untuk menjadi korban bagi Rasulullah SAW, dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup menghadapi pedang-pedang kalangan Musyrikin yang siap memotong tubuhnya dan menghilangkan nyawanya. Dengan begitu, ia telah rela mengorbankan dirinya bagi Rasulullah SAW pembawa hidayah bagi seluruh umat manusia.
Kisah Umar bin Khattab
Saat manusia mengalami derita kelaparan dan kekeringan pada masa Umar bin Khattab ra , Umar hanya sempat tidur sekejap dan hanya dapat beristirahat sebentar. Seluruh perhatiannya ditujukan untuk menghilangkan bencana kelaparan itu dari rakyatnya.
Usahanya itu terus membebaninya, sehingga tubuhnya berubah menjadi hitam, dan melemah. Sehingga orang yang melihat dirinya seperti itu ada yang berkata: “Seandainya bencana kelaparan ini terus berlangsung beberapa bulan lagi, niscaya Umar bisa mati karena sedih dan menderita melihat penderitaan rakyatnya”.
Suatu hari datang kafilah pembawa barang dari Mesir yang membawa daging, minyak samin, makanan, dan bahan pakaian, kemudian ia membagi-bagikan semua itu sendiri kepada masyarakat, dan tidak mau sedikitpun mengambil bagian.
Ia kemudian berkata kepada kepala rombongan kafilah: “Aku mengundangmu untuk makan dirumahku nanti”. Si kepala kafilah langsung membayangkan makanan yang lezat-lezat. Karena ia menyangka bahwa makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu’minin tentunya lebih baik dan lebih lezat dari makanan rakyat biasa. Maka dengan semangat ia datang ke rumah Umar, sambil menahan lapar, haus dan rasa capai.
Di sana, Umar segera menyiapkan makanan baginya. Namun yang membuat sang tamu tercengang adalah ternyata makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu’minin bukanlah makanan yang berupa daging, minyak saming, daging bakar maupun manis-manisan. Makanannya ternyata tak lebih dari potongan-potongan roti hitam yang kering, dengan berlauk sepiring minyak.