Syarat bagi orang yang beriktikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas. Foto ilustrasi/ist
Menjelang 10 hari terakhir
bulan Ramadan , kaum muslimin disunnahkan untuk melaksanakan
iktikaf , atau berdiam diri di masjid dengan maksud mendekatkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Bagaimana dengan kaum muslimah, bolehkah beriktikaf di masjid? Apa saja syarat-syaratnya?Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling memuliakan bulan Ramadan. Pada permulaan
bulan Ramadan , Rasulullah memiliki intensitas yang tinggi dalam beribadah. Dan ketika pada sepuluh hari terakhir, intensitas ibadah Beliau semakin meningkat berlipat-lipat.
Secara garis besar, riwayat-riwayat dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha mendeskripsikan kegigihan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam mengisi sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dengan ibadah-ibadah yang sangat khusyuk.
Di antara ibadah-ibadah tertentu yang beliau laksanakan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan adalah ibadah iktikaf . Hal tersebut beliau lakukan sebagai usaha terbaik untuk meraih malam yang lebih baik dari seribu bulan (lailatulqadar).
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ..ِ (رواه مسلم)
“Bahwasannya Rasulullah saw beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, hingga saat beliau wafat menghadap Allah SWT.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat yang lain dijelaskan, Rasulullah Sallallahu alaihi wa salam jika memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan, mengencangkan sarungnya, dan menghidupkan malam-malamnya, serta membangunkan keluarganya.” (Muttafaq Alaih).
Sebenarnya, apakah iktikaf itu? Dalam buku Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq, dijelaskan bahwa yang dimaksud iktikaf di sini adalah menetapi masjid dan tinggal di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Rukun iktikaf ada dua yaitu menetap di masjid dan berniat untuk pendekatan diri kepada Allah. Artinya, hakikat dari i’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta’ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut iktikaf.
Syarat bagi orang yang beriktikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas.
Dari keterangan di atas perempuan juga dihukumi sunnah ketika beriktikaf di masjid. Sama seperti kaum laki-laki.
Sebagaimana sabda ‘Aisyah Radiyallahu’Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan sampai beliau diwafatkan Allah, kemudian istri-istrinya pun iktikaf setelah itu. (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Hadits tersebut membuktikan bahwa perempuan boleh iktikaf. Dan disyariatkan bagi perempuan yang akan beri’tikaf untuk melaksanakannya di masjid-masjid.
Tapi tentu dengan tempat yang terpisah dari kaum pria jika perempuan tersebut melakukan iktikaf bersama-sama suaminya.
Jika tidak bersama suami, maka dia harus meminta izin suaminya. Suami juga boleh mengizinkan, boleh juga tidak. Karena iktikaf ini hukumnya sunnah. Kalau saja hukumnya wajib bagi wanita tersebut, maka suaminya tidak boleh melarang dia.
Jumhur ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki, syafi’i, Hambali, dan lainnya berpandangan bahwa kaum perempuan seperti laki-laki, tidak sah iktikafnya kecuali di masjid. Maka tidak sah iktikaf yang dilaksanakannya di masjid rumahnya.
Namun, ada sedikit ulama yang berpendapat bahwa sah iktikaf seorang wanita yang dilaksanakan di tempat biasa sholat di rumahnya.