Hidupnya hanya berkutat pada “aku aku dan aku,” tanpa menyadari, sejatinya dirinya adalah liyan bagi ‘aku’ yang lain. Di sinilah cerita ringan Dr. Khaled Abdul Mun’im- direktur pelaksana International Institute of Islamic Thought, Mesir- selama 2 bulan 4 hari berada di Indonesia memberikan fungsinya sebagai cermin untuk kita.
Sebagaimana disampaikannya di situs Indonesiaalyoum, paparan pertama yang menarik bagi saya adalah tentang watak kita. Kita pasti sering mendengar, kalau kita bangsa yang ramah, Dr. Khalid setuju itu, beliau bercerita, orang Indonesia kalau berbicara sudah seperti bisik- bisik saking ramahnya, beda dengan orang- orang Arab yang senang mengangkat suara.
Namun yang menggelitik saya adalah kesan Dr. Khalid saat bilang: tapi jangan sekali- kali Anda menyimpulkan dari keramah- tamahan itu sejatinya mereka sedang mengungkapkan perasaan asli mereka. Berapa lama pun Anda tinggal bersama mereka, kadang Anda bingung kesan asli mereka terhadap Anda.
Saya juga kadang sering merasa demikian. Orang Mesir terus terang, suka tidak suka diungkapkan, kalau kita kadang lebih tertutup, kadang masih memikirkan perasaan orang, atau bahkan dipendam malah, dan masalahnya ini malah membuat orang bingung kadang, bahkan salah faham.
Kesan menarik lainnya adalah tentang demokrasi di Indonesia yang (lebih) sehat. Dr. Khalid cerita, bagaimana komplek- komplek militer di Indonesia tidak eksklusif, membaur dengan masyarakat.
Ini juga sangat saya fahami, di Mesir, bukan hanya militer, militer tentunya apalagi, hampir semua bangunan pemerintahan punya pagar- pagar yang tinggi, kadang sampai mustahil melihat ke dalam dari luar, sudah begitu pasti dijaga polisi atau tentara. Jangankan gedung pemerintahan, berapa banyak pom bensin di Mesir yang petugasnya berbaju loreng.
Masih tentang bangunan, ada semacam refleksi saat Dr. Khalid melihat bagaimana di perkampungan rumah ‘gedong’ orang- orang kaya bisa bersebelahan dengan ‘kelas menengah’ dan bisa akur, tanpa konflik seingat beliau selama tinggal. Ini cerminan masyarakat kita yang memang egaliter.
Di Mesir, selain memang karena bangunan tempat tinggalnya berbentuk apartemen (tidak selalu dalam arti mewah), amat jarang memang saya temukan, tetangga kumpul- kumpul, apalagi gotong royong begitu, pemandangan emak- emak ngegosipin janda anak 2 depan amben, bapak- bapak bertukar hasil risetnya terkait kasus Sambo di pos ronda, wah.. Ini rasanya tidak pernah ada di sana.
Kemudian tentang perempuan, ini lebih ke kesetaraan gender dalam prakteknya. Kalau di negeri- negeri Arab terkadang masih sangsi dengan praktek wanita bekerja, atau bahkan aktivitas di luar rumah, Dr. Khalid melihat bagaimana wanita di Indonesia pasti punya kecakapan tertentu dalam melakukan suatu hal.
Ada yang naik motor mengantar anaknya sekolah, buka warung di pinggir jalan, keliling jual sesuatu. Saking independennya, beliau sampai sulit menebak ibu- ibu di jalan; apakah ibu- ibu yang dilihatnya sedang bekerja ini seorang istri yang bantu suami menambah uang rumah, atau ibu tunggal, atau memang belum berstatus.
Kemudian tentang etos kerja, Dr. Khalid cerita kalau di Indonesia, orang- orang beraktivitas sejak pagi hari, kantor- kantor pemerintahan buka sejak pagi, bahkan pasar- pasar tradisional sudah bisa dikunjungi setelah shubuh.
Iya betul, di Mesir sendiri, mungkin karena musimnya berbeda mungkin ya, orang terbiasa tidur setelah shubuh. Musim panas, karena malamnya panas jadi baru bisa tidur setelah shubuh, sedangkan musim dingin, karena paginya sangat dingin, baru beraktivitas menjelang siang, itu sebabnya di sana jam kerja lebih terlambat, dan tentunya berpengaruh ke produktivitas kerja.
Terakhir tentang makanan, di Indonesia restoran luar negeri sangat sedikit, dan kalau pergi ke super market, bakal kita temukan banyak produk dalam negeri, ini menurut Dr. Khalid membuktikan bahwa bangsa Indonesia berhasil menjaga identitasnya.
Selain itu di rumah makan beliau juga salut dengan pelayanannya yang luar biasa, orang- orangnya ramah dan telaten, membuatnya nyaman. Saya sendiri sangat memahami ini, di Mesir kadang minum jus saja, jusnya belum habis, gelasnya sudah diangkat, kadang yang jual lebih galak dari pembeli, entah apa yang dipikirkan mereka.
Namun Dr. Khalid memberikan semacam catatan, bahwa pengalamannya tersebut adalah pandangan pribadinya yang khas, dan sangat terbatas, sebab beliau hanya 2 bulan 4 hari di Indonesia, selain itu beliau hanya menetap lama di Jawa Barat tepatnya di Cibodas dan sekitarannya.
Dan tak lupa beliau juga, menyempatkan pandangannya sebagai akademisi sekaligus penelti di lembaga kajian pemikiran Islam, bahwa hendaknya segala studi yang mengkaji negeri- negeri muslim dapat menyadarkan kita umat Islam arti penting kata ‘umat’ yang belakangan berkabut di kesadaran kita oleh karena istilah ‘negara bangsa’ yang mewacana secara global sejak pertengahan abad 17 masehi.