Amalan yang bisa dikerjakan di malam Nisfu Syaban adalah berdoa dan membaca surat Yasin sebanyak-banyaknya. Foto ilustrasi/ist
Banyak amalan yang bisa dilakukan di
malam Nisfu Syaban , salah satunya dengan berdoa dan membaca Surah Yasin. Setidaknya bacalah
surat Yasin sebanyak 3 kali, 30 kali bahkan ratusan kali. “Silahkan baca surat Yasin boleh 3 kali, 30 kali atau ratusan kali, atau mengkhatamkan Al‐Qur’an secara keseluruhan tidak dilarang oleh agama. Dengan tujuan agar hajatnya dikabulkan oleh Allah Ta’ala,” kata Pengasuh Yayasan Al-Hawthah Al-Jindaniyah, Al-Habib Ahmad Bin Novel Bin Salim Bin Jindan dalam risalah daurahnya.
Malam Nisfu Syaban dikenal dengan istilah Lailatul Baro’ah yang berarti malam pengampunan dosa, malam berdoa dan malam pembebasan. Sudah menjadi kebiasaan di kalangan umat Islam Indonesia, membaca Yasin 3 kali dengan tujuan agar umurnya dipanjangkan oleh Allah, rezekinya dimurahkan dan diberikan husnul khatimah oleh Allah tidak pernah dilarang oleh agama.
Baca juga: Amalan Penduduk Mekkah dan Ulama Syam pada Malam Nisfu Syaban
Menurut Habib Novel, membaca Surah Yasin 3 kali dan kemudian bertawassul kepada Allah berkat bacaan ayat suci Al-Qur’an adalah ibadah yang baik.
Perkara semacam ini direstui dan dibenarkan oleh syariat. Hal ini dinamakan “At-Tawashul ilallah bil a’maal ash sholihah” yakni bertawasul kepada Allah dengan berkat amal ibadah yang soleh agar Allah mengabulkan doa dan harapan.
Kebolehan amalan ini disepakati oleh para ulama dan merupakan bagian dari agama Allah. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan hadits‐hadits shahih yang membenarkan perkara bertawassul dengan amal ibadah yang soleh.
Adapun dalil menghidupkan Nisfu Syaban dengan beribadah diriwayatkan oleh Al Imam At-Thabrani, sebagaimana dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dari Muadz bin Jabbal bahwa Rasulullah bersabda:
“Allah memberikan perhatian‐Nya kepada seluruh makhluk‐Nya pada malam Nisfu Syaban. Dan Allah mengampuni seluruh makhluk‐Nya kecuali orang yang musyrik dan orang yang saling berdengki satu sama lain.”
Terkait tawassul dengan amalan memiliki dalil kuat yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:
Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, berkata, saya mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelum kamu berangkat bepergian, sehingga terpaksa menempati sebuah gua untuk bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini kecuali jika engkau semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik.
Seorang dari mereka itu berkata: “Ya Allah, saya mempunyai dua orang tua yang lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu (daun-daunan untuk makanan ternak). Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seseorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsing, anak-anak kecil sama menangis karena kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum. “Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang demikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutup ini.” Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum dapat keluar dari gua.
Yang lain berkata: “Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang sepupu wanita yang merupakan orang tercinta bagiku dari sekalian manusia (dalam sebuah riwayat disebutkan, saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita) kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. Ia pun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan 120 Dinar padanya dengan syarat ia menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku (maksudnya suka dikumpuli dalam 1 tempat tidur). Setelah saya dapat menguasai dirinya (dalam sebuah riwayat lain disebutkan, Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya) sepupuku itu lalu berkata, “Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin (maksudnya cincin adalah kemaluan). Maka jangan melenyapkan kegadisanku melainkan dengan perkawinan yang sah. Lalu aku pun meninggalkannya, sedangkan ia adalah amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. “Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang demikian dengan niat mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kami hadapi ini. Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih belum dapat keluar dari dalamnya.”
Orang ketiga berkata: “Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya kembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata, ‘Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata, Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata, Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab, saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itu pun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang demikian ini dengan niat mengharapkan keridhaan-Mu, maka lapangkanlah kami dari kesukaran yang sedang kami hadapi ini.” Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari gua itu”. (Muttafaq ‘Alaih)
Apa yang dilakukan oleh para ulama sejak dahulu di Negeri Syam dan di beberapa negeri lainnya dalam menghidupkan malam Nisfu Syaban sudah cukup menjadi hujjah dan contoh bagi umat Islam saat ini.
Baca juga: Malam Nisfu Syaban, Allah Mengampuni Dosa Hamba-Nya Kecuali yang Bermusuhan
(wid)