Mereka yang telah mengembangkan nilai-nilai batiniah tertentu niscaya memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap masyarakat. Foto/Ilustrasi: Ist
Kisah sufi berikut ini dinukil dari buku berjudul “
Tales of The Dervishes” karya Idries Shah yang diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi “
Harta Karun dari Timur Tengah – Kisah Bijak Para Sufi“. Menurut Idries Shah, kisah ini bersumber dari ajaran-ajaran tarekat Khilwati (‘Pertapa’), yang didirikan oleh Omar Khilwati yang wafat pada tahun 1397, sering sekali dikutip.
Argumennya, yang diterima secara luas di kalangan darwis, menekankan bahwa mereka yang telah mengembangkan nilai-nilai batiniah tertentu niscaya memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap masyarakat daripada mereka yang berusaha mengamalkan prinsip-prinsip moral secara kering. Yang pertama disebut: ‘Manusia Tindakan yang Sejati’, dan yang kedua: ‘Mereka yang tidak tahu tetapi bersikap seolah-olah tahu’.
Baca juga: Kisah Sufi: Ketika Setan Kehilangan Pekerjaan
Berikut kisahnya:
Dua orang saleh dan terhormat pergi ke masjid bersama-sama. Orang pertama melepas sepatunya, lalu meletakkannya dengan rapi, sebelah menyebelah, di luar pintu. Orang kedua melepas sepatunya, mengimpitkan kedua alas sepatunya dan membawanya masuk ke masjid.
Terjadilah percakapan di antara sekelompok orang saleh yang duduk-duduk di dekat pintu masjid, siapa dari kedua orang tadi yang lebih saleh. “Jika orang masuk masjid telanjang kaki, bukankah lebih baik menaruh saja sepatunya di luar?” tanya seseorang. “Tetapi tidakkah kita harus mempertimbangkan,” kata yang lain, “bahwa orang yang membawa masuk sepatunya ke masjid mengingatkan dirinya bahwa ia sedang dalam keadaan kerendahan hati yang pantas?”
Baca juga: Kisah Sufi, Putri yang Tidak Patuh
Ketika dua orang itu selesai sembahyang, mereka ditanyai terpisah oleh kedua kelompok yang berbeda pendapat tadi.
Orang pertama menjawab, “Saya meninggalkan sepatuku di luar dengan alasan biasa. Jika seandainya ada orang bermaksud mencuri sepatuku maka ia akan memperoleh kesempatan untuk menangkis godaan itu, dan dengan kemudahan memperoleh kebaikan bagi dirinya sendiri.” Para pendengar sangat terkesan oleh kemuliaan hati orang saleh itu, yang menganggap harta miliknya sepele sehingga merelakan saja semuanya kepada nasib.
Orang kedua, pada saat yang sama, berkata, ‘”Saya membawa masuk sepatuku ke masjid sebab jika kubiarkan di luar mungkin akan menggoda seseorang untuk mencurinya. Siapa pun yang menyerah pada godaan tersebut tentu akan membuatku terlibat juga dalam dosa.” Para pendengar terkesan sungguh oleh ucapan yang saleh itu, dan mengagumi kedalaman pikiran orang suci tersebut.
Baca juga: Kisah Sufi: Berharga dan Tak Berharga
Namun, ada orang lain, seorang bijaksana juga, yang hadir di tengah mereka, berseru, “Sementara kalian berdua dan para pendengarmu terlena dalam perasaan puasmu, saling berceloteh tentang ibarat yang diandaikan, ada hal-hal nyata telah terjadi.”
“Apa itu?” tanya kerumunan orang itu.
‘”Tak ada orang yang tergoda oleh sepatu itu. Tak ada orang yang tidak tergoda oleh sepatu itu. Pendosa khayalan itu tak pernah lewat. Justru seorang yang tak punya sepatu untuk dibawa masuk atau ditaruh di luar pintu, masuk ke masjid. Ia tidak menyadari pengaruh yang diberikannya atas orang-orang yang melihatnya maupun yang tidak melihatnya. Tak ada seorang pun yang memperhatikan perilakunya. Tetapi, oleh karena ketulusannya, doa-doanya di masjid hari ini secara langsung menolong orang-orang yang ingin mencuri, yang mungkin betul-betul mencuri atau tidak jadi mencuri atau memperbaiki diri mereka ketika menghadapi godaan.”
Belum jugakah kalian mengerti bahwa sekadar perilaku yang disadari, betapa pun mulia itu dalam pemandangannya, sesungguhnya tak berarti bila dibandingkan dengan pengetahuan bahwa ada sungguh-sungguh orang bijaksana yang sejati?
Baca juga: Kisah Sufi: Keperluan yang Kian Mendesak
(mhy)