BagyaNews.com – Surat-surat pendiri NU tentang wahabi menarik untuk diamati. Proses perdebatan yang kala itu menggunakan media surat sudah ramai terjadi. Salah satu isu yang dibicarakan adalah perdebatan dan dialog soal tradisionalisme dan modernisme Islam.
Lulusan Pondok pesantren yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU) pasti hafal betul dengan sosok Kiai Hasyim Asy’ari. Terlebih lagi jika mereka telah membaca buku yang berjudul ”Fajar Kebangunan Ulama; Biografi KH Hasyim Asy’ari” (LKiS, 2009) atau menonton film “Sang Kyai” yang disutradarai Rako Prijanto.
Berbeda dengan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah yaitu Kiai Ahmad dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari punya sebutan istimewa, “Hadratussyeikh”, Penggalang Islam Tradisional hingga perintis Kemerdekaan Indonesia. Hingga akhir hayatnya pendiri NU ini meninggalkan banyak warisan pemikiran. Baik berbentuk kitab turats (Irsyadus Sari), Fatwa Resolusi Jihad maupun surat menyurat.
Baca Juga: Respons Para Kiai Dalam Tragedi Gestapu, Santuni Janda Dan Pesantrenkan Anak Yatim Tokoh-Tokoh PKI
Terkait surat-surat pendiri NU tentang Wahabi, Disertasi Ahmad Nur Fuad (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010) menyinggung majalah Suara Muhammadiyah (terbitan 1925) yang memuat turunan surat yang ditulis Kiai Hasyim Asy’ari kepada Kiai Muhammad Makie dan ulama-ulama lain di Sampang, pulau Madura. Surat ini menceritakan debat yang terjadi antara Kiai Wahab Hasbullah, Syeikh Ahmad Surkati dan Kiai Mas Mansur yang kala itu menjabat ketua Muhammadiyah cabang Surabaya.
Debat ketiga tokoh ini membahas soal-soal yang berkaitan dengan ijtihad, taqlid dan mazhab. Pertanyaannya adalah kapan dan di mana debat ini terjadi? Tidak jelas tahun berapa dan di mana lokasi perdebatan antara ketiga tokoh di atas. Apakah di Surabaya, Jombang, Yogyakarta ataukah Bandung.
Darul Aqsha dalam buku KH Mas Mansur (1986-1946) Perjuangan dan Pemikiran (Erlangga, 2005) menyebut aktivitas perdebatan ini mengundang reaksi keras dari kalangan ulama tradisionalis. Mereka menyebut Kiai Mas Mansur sebagai pengikut Wahabi dan bahkan menyebut Kiai Mas Mansur telah mendirikan agama baru yang mereka sebut “Agama Mansur”. Dr. Zamakhsari Dhofier sebagaimana dikutip Darul Aqsha menyimpulkan bahwa perdebatan ini merupakan awal pengelompokan umat Islam di Jawa ke dalam apa yang disebut “kelompok Islam tradisionalis” dan “kelompok Islam modernis”.
Kembali kepada surat Kiai Hasyim Asy’ari. Ditulis bahwa menurut Kiai wahab, tidak ada mujtahid Mutlaq, sementara Ahmad Surkati menyatakan jika seseorang telah menguasai Quran, bahasa arab dan hadis-hadis yang nasikh dan yang mansukh, maka dia punya syarat untuk melakukan ijtihad sendiri. Dalam surat ini Hasyim Asy’ari menyebut Muhammadiyah telah keluar dari mazhab empat, merupakan cabang dari mazhab Muhammad ibn Abd al-Wahhab.
Pembaca laman BagyaNews.com pasti bingung setelah menyimak paragraf di atas, suratnya menyinggung adu pendapat Kiai Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Surkati, tapi mengapa yang kena imbasnya justru Muhammadiyah? Bukankah Syeikh Surkati itu dari Al Irsyad.
Baca Juga: Kiai Ridwan Menggambar Lambang NU, Muncul dalam Mimpi dan Disetujui Kiai Hasyim
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini, pendapat Hasyim Asy’ari dalam suratnya tadi yang menggolongkan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai cabang dari mazhab Muhammad ibn Abd al-Wahhab tak membuat retak ukhuwah Islamiyah beliau dengan elit-elit Muhammadiyah. Kenapa bisa begini? karena “KH. Hasyim asy’ari adalah ulama yang bisa menempatkan satu kakinya di kalangan Modernis dan kaki lainnya di Kalangan Trdisionalis. Oleh karena itu, Ia bisa diterima oleh semua kalangan,” ucap Dr. Ahmad Muhibbin Zuhri dalam Seminar internasional “Islam dan Kedaerahan: Potret di Jawa timur” (UIN Malang, 2011). Bukti nyata diterimanya Kiai Hasyim Asy’ari adalah dukungan elit Muhammadiyah di Yogyakarta terhadap fatwa jihad tersebut.
Itulah isi surat-surat pendiri NU tentang Wahabi dan perdebatan soal visi Islam yang dikehendaki saat itu. Surat-surat perdebatan yang sedikit banyak menggambarkan betapa majunya pikiran para ulama kita di masa itu.